Minggu, 13 November 2011
Stroke pada Otak Manusia
Luar biasa cara kerja otak manusia dan perancang otak kita. Ada yang mampu menandinginya?
TUHAN sungguh luar biasa :)
Rabu, 27 Juli 2011
INOVASI MODEL DAN EVALUASI PEMBELAJARAN
Ditulis oleh : Lussy Dwiutami Wahyuni
Disunting oleh: Johandana
Sahabat, Pembelajar, desain pembelajaran, dan pebelajar adalah 3 (tiga) komponen utama pembelajaran. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya 3 (tiga) hal tersebutlah yang menjadi sumber permasalahan belajar.
Pembelajar di era teknologi informasi yang tiada batas ini bukan lagi berwujud sebagai seorang guru di depan kelas. Pembelajar yang telah bertransformasi ke dalam lingkungan digital (internet), dapat berupa lembaran-lembaran makalah, jurnal, modul pembelajaran, games, kuis, perangkat lunak berupa data presentasi power poin, dan masih banyak lagi wujud pembelajar yang siap ditemui kapan saja dan dimana saja sesuai kebutuhan pebelajar. Rangkaian wujud digital seperti contoh-contoh di atas sering disebut sebagai e-learning atau online learning. Banyak analisis yang menyatakan bahwa tuntutan pendidikan masa depan akan merubah peran dan cara pembelajar dalam menyampaikan atau membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya verbal atau lisan menjadi textual atau tulisan. Pengalaman belajar ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari para ahli, peran guru atau pengajar di kelas tidak dapat tergantikan karena tidak semua peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara mandiri. Oleh sebab itu, muncullah teori pembelajaran yang menggabungkan antara pertemuan tatap muka (face to face instruction), dan pembelajaran yang difasilitasi oleh komputer (baik secara online – berjaringan maupun secara offline – tanpa jaringan) atau banyak disebut sebagai hybrid instruction.
Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007) menyatakan bahwa desain pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya kondisi-kondisi belajar, internal maupun eksternal. Sedangkan menurut Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi disain pembelajaran mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa, tujuan pembelajaran, metode, dan penilaian.
Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens dalam suatu lingkup pembelajaran. Biasanya penyebutan peserta didik ini mengikuti skup/ruang lingkup dimana pembelajaran dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi, dan peserta pelatihan untuk diklat.
Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam sebuah proses pembelajaran yang harus dithreat agar output dan outcomesnya sesuai dengan yang dicanangkan institusi (khususnya) dan dunia pendidikan Indonesia pada umumnya. Agar keluarannya dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka sudah sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun disesuaikan dengan dunia nyata juga. Hal tersebut biasa dikenal dengan model pembelajaran inovatif.
Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi. Terbukti, saat ini paper and penbukanlah satu-satunya cara untuk menilai keberhasilan belajar peserta didik. Asesmen portofolio, autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak inovasi cara menilai keberhasilan peserta didik yang lebih menitikberatkan pada proses.
A. Model Pembelajaran Inovatif
Model pembelajaran inovatif lahir dari adanya keresahan terhadap cara belajar klasikal atau tatap muka. Dimana peserta didik tidak dapat terlibat aktif dalam hal intelektual maupun fisik. Karena itu, dirancanglah sebuah model pembelajaran yang bisa mengaktifkan seluruh indera dan intelektualitas peserta didiknya.
Yang termasuk ke dalam model pembelajaran inovatif adalah pembelajaran berbasis quantum teaching, pembelajaran berbasis multiple intelegencies, e-learning, active learning, integrated learning, cooperative learning, pembelajaran berbasis sumber, konteksual learning, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Selanjutnya yang akan dibahas disini adalah hanya model pembelajaran inovatif berbasis elektronik (e-learning) dan contextual learning.
1. Model Pembelajaran Berbasis Elektronik (Elearning)
a. Pengertian E-Learning
E-learning tersusun dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘electronica’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam pelaksanaannya, e-learning menggunakan jasa audio, video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. Dengan kata lain e-learning adalah pembelajaran yang dalam pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelite atau komputer.(Tafiardi, 2005). Sejalan dengan itu, Onno W. Purbo (dalam Amin, 2004) menjelaskan bahwa istilah “e” dalam e-learning adalah segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet. Internet, satelit, tape audio/video, tv interaktif, dan CD-ROM adalah sebagian dari media elektronik yang digunakan. Pengajaran boleh disampaikan pada waktu yang sama (synchronously) ataupun pada waktu yang berbeda (asynchronously).
Secara lebih singkat William Horton mengemukakan bahwa (dalam Sembel, 2004) e-learning merupakan kegiatan pembelajaran berbasis web (yang bisa diakses dari internet). Tidak jauh berbeda dengan itu Brown, 2000 dan Feasey, 2001 (dalam Siahaan, 2002) secara sederhana mengatakan bahwa e-learning merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan (internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan fasilitas yang didukung oleh berbagai bentuk layanan belajar lainnya.
Selain itu, ada yang menjabarkan pengertian e-learning lebih luas lagi. Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet. Interaksi dengan menggunakan internetpun bisa dijalankan secara on-line dan real-time ataupun secara off-line atau archieved. Distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat dimana dia berada (Lukmana, 2006).
b. Karakteristik E-Learning
Karakteristik e-learning ini antara lain adalah:
1) Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal-hal yang bersifat protokoler.
2) Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan computer networks)
3) Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan di mana saja bila yang bersangkutan memerlukannya
4) Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.
c. Syarat-Syarat Penggunaan E-Learning
Menurut Newsletter of ODLQC, 2001 (dalam Siahaan) syarat-syarat kegiatan pembelajaran elektronik (e-learning) adalah :
1) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan dalam hal ini internet.
2) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan oleh peserta belajar, misalnya CD-ROM atau bahan cetak
3) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu peserta belajar apabila mengalami kesulitan
4) adanya lembaga yang menyelenggarakan/mengelola kegiatan e-learning
5) adanya sikap positif pendidik dan tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan internet
6) adanya rancangan sistem pembelajaran yang dapat dipelajari/diketahui oleh setiap peserta belajar
7) adanya sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan belajar peserta belajar
8) adanya mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh lembaga penyelenggara
Berbeda dengan yang telah diungkapkan di atas, dalam Sembel, 2004, lebih menyoroti dari tenaga-tenaga ahli yang perlu ada untuk “menghidupkan” sebuah e-learning adalah :
1) Subject Matter Expert (SME), merupakan nara sumber dari pembelajaran yang disampaikan.
2) Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME menjadi materi e-learning dengan memasukkan metode pengajaran agar materi menjadi lebih interaktif, lebih mudah, dan lebih menarik untuk dipelajari.
3) Graphic Designer (GD), bertugas untuk mengubah materi teks menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif, dan menarik untuk dipelajari.
4) Learning Management System (LMS), bertugas mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya, serta hal lain yang berhubungan dengan pembelajaran, seperti tugas, nilai, dan peringkat ketercapaian belajar siswa.
Ahli-ahli pendidikan dan ahli internet menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran (Hartanto dan Purbo dalam Tafiardi, 2002) antara lain:
1) Analisis Kebutuhan (Need Analysis). Dalam tahapan awal, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah memang memerlukan e-learning. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas saran orang lain. Setiap lembaga menentukan teknologi pembelajaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan analisis kebutuhan atau need analysis yang mencakup studi kelayakan baik secara teknis, ekonomis, maupun sosial.
2) Rancangan Instruksional yang berisi tentang isi pelajaran, topik, satuan kredit, bahan ajar/kurikulum.
3) Evaluasi yaitu sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut mengevaluasi.
d. Fungsi E-Learning
Setidaknya ada 3 (tiga) fungsi pembelajaran elektronik terhadap kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom instruction), yaitu (dalam Siahaan, 2002) :
1) suplemen (tambahan)
Dikatakan berfungsi sebagai suplemen, apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan.
2) komplemen (pelengkap)
Dikatakan berfungsi sebagai komplemen, apabila materi e-learning diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa di dalam kelas (Lewis, 2002). Sebagai komplemen berarti materi e-learning diprogramkan untuk menjadi materi enrichment(pengayaan) atau remedial bagi peserta didik di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.
Sebagai enrichment, apabila peserta didik dapat dengan cepat menguasai/memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka diberikan kesempatan untuk mengakses materi e-learning yang memang secara khusus dikembangkan untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.
Sebagai remedial, apabila peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara tatap muka di kelas. Tujuannya agar peserta didik semakin lebih mudah memahami materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.
3) substitusi (pengganti)
Tujuan dari e-learning sebagai pengganti kelas konvensional adalah agar peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan perkuliahan sesuai dengan waktu dan aktivitas lain sehari-hari. Ada 3 (tiga) alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat diikuti peserta didik : (1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional), (2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau bahkan (3) sepenuhnya melalui internet.
e. Manfaat E-Learning
E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi pelajaran. Peserta didik dapat saling berbagi informasi atau pendapat mengenai berbagai hal yang menyangkut pelajaran atau kebutuhan pengembangan diri peserta didik. Selain itu, guru dapat menempatkan bahan-bahan belajar dan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik di tempat tertentu di dalam web untuk di akses oleh peserta didik. Sesuai dengan kebutuhan, guru dapat pula memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh peserta didik sekali saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula (Website Kudos, 2002, dalam Siahaan).
Secara lebih rinci, manfaat e-learning dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu dari sudut peserta didik dan guru :
1) sudut peserta didik
Dengan kegiatan e-learning dimungkinkan berkembangnya fleksibilitas belajar yang tinggi. Menurut Brown, 2000 (dalam Siahaan) ini dapat mengatasi siswa yang (1) belajar di sekolah-sekolah kecil di daerah-daerah miskin untuk mengikuti mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya, (2) mengikuti program pendidikan keluarga di rumah (home schoolers) untuk mempelajari materi yang tidak dapat diajarkan oleh orang tuanya, seperti bahasa asing dan ketrampilan di bidang komputer, (3) merasa phobia dengan sekolah atau peserta didik yang di rawat di rumah sakit maupun di rumah, yang putus sekolah tapi berminat melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di berbagai daerah atau bahkan yang berada di luar negeri, dan (4) tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan pendidikan.
2) guru
Menurut Soekartawi (dalam Siahaan) beberapa manfaat yang diperoleh guru adalah bahwa guru dapat : (1) lebih mudah melakukan pemutakhiran bahan-bahan yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang terjadi, (2) mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna peningkatan wawasannya karena waktu luang yang dimiliki realtif lebih banyak, (3) mengontrol kegiatan belajar peserta didik. Bahkan guru juga dapat mengetahui kapan peserta didiknya belajar, topik apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topik dipelajari, serta berapa kali topik tertentu dipelajari ulang, (4) mengecek apakah peserta didik telah mengerjakan soal-soal latihan setelah mempelajari topik tertentu, dan (5) memeriksa jawaban peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepada peserta didik.
Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi yang tersedia di literatur, memberikan penjelasan tentang manfaat penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Soekartawi dalam Tafiardi, 2002 : 94-95), antara lain dapat disebutkan sbb:
a) Tersedianya fasilitas e-moderating. Guru dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.
b) Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari.
c) Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer.
d) Bila siswamemerlukan tambahan informasi berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah.
e) Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
f) Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif
g) Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau sekolah konvensional, bagi mereka yang sibuk bekerja, bagi mereka yang bertugas di kapal, di luar negeri, dsb-nya.
f. Kelebihan E-Learning
E-learning dapat dengan cepat diterima dan kemudian diadopsi adalah karena memiliki kelebihan/keunggulan sebagai berikut (Effendi, 2005)
1) Pengurangan biaya
2) Fleksibilitas. Dapat belajar kapan dan dimana saja, selama terhubung dengan internet.
3) Personalisasi. Siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan belajar mereka.
4) Standarisasi. Dengan e-learning mengatasi adanya perbedaan yang berasal dari guru, seperti : cara mengajarnya, materi dan penguasaan materi yang berbeda, sehingga memberikan standar kualitas yang lebih konsisten.
5) Efektivitas. Suatu studi oleh J.D Fletcher menunjukkan bahwa tingkat retensi dan aplikasi dari pelajaran melalui metode e-learning meningkat sebanyak 25 % dibandingkan pelatihan yang menggunakan cara tradisional
6) Kecepatan. Kecepatan distribusi materi pelajaran akan meningkat, karena pelajaran tersebut dapat dengan cepat disampaikan melalui internet.
g. Keterbatasan E-Learning
Terakhir yang harus diperhatikan masalah yang sering dihadapi yaitu:
1) Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan jaringan internet, listrik, telepon dan infrastruktur yang lain.
2) Masalah ketersediaan software (piranti lunak). Bagaimana mengusahakan piranti lunak yang tidak mahal.
3) Masalah dampaknya terhadap kurikulum yang ada.
4) Masalah skill and knowledge
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan antara lain:
1) Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar.
2) Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis
3) Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan bukan pendidikan.
4) Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut menguasai teknik pembelajaran yang menggunakan internet.
5) Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar tinggi cenderung gagal
6) Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer).
7) Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan bidang internet dan kurangnya penguasaan bahasa komputer.
h. Kendala-Kendala
Kendala atau hambatan dalam penyelenggaraan e-learning, yaitu (Effendi, 2005) :
1) Investasi. Walaupun e-learning pada akhirnya dapat menghemat biaya pendidikan, akan tetapi memerlukan investasi yang sangat besar pada permulaannya.
2) Budaya. Pemanfaatan e-learning membutuhkan budaya belajar mandiri dan kebiasaan untuk belajar atau mengikuti pembelajaran melalui komputer.
3) Teknologi dan infrastruktur. E-learning membutuhkan perangkat komputer, jaringan handal, dan teknologi yang tepat.
4) Desain materi. Penyampaian materi melalui e-learning perlu dikemas dalam bentuk yanglearner-centric. Saat ini masih sangat sedikit instructional designer yang berpengalaman dalam membuat suatu paket pelajaran e-learning yang memadai.
2. Model Pembelajaran Berbasis Konteks (Contextual Teaching and Learning (CTL))
Fenomena pembelajaran yang berkembang di lapangan adalah masih banyak pengajar yang mengajar hanya sekedar menyelesaikan materi tanpa memikirkan apakah yang diberikannya itu bermakna ataupun ada keterkaitan dengan dunia nyata. Yang mengakibatkan fenomena ini terjadi, salah satunya adalah karena banyaknya materi yang harus diselesaikan tetapi waktu yang tersedia kurang. Akibatnya, materi yang tersampaikan tidak ada yang terinternalisasi dalam diri peserta didik, kalau boleh dikatakan secara ekstrim adalah lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas apapun di kepala.
Beranjak dari fenomena itulah pembelajaran berbasis konteks atau CTL muncul. Intinya CTL adalah pembelajaran yang menggabungkan isi/materi dengan pengalaman harian individu, kehidupan di dalam masyarakat dan alam pekerjaan. Diharapkan dengan pembelajaran secara konteks, peserta didik dapat memahami materi secara konkrit. Dikatakan konkrit karena tangan dan “kepala” mereka ikut terlibat secara aktif dalam mempelajari dan memahami materi yang disampaikan. Hal ini biasa disebut dengan hands on and minds on activity.
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Suatu pembelajaran dikatakan CTL, jika didalamnya terdapat komponen-komponen sebagai berikut (dikdasmen) :
- Konstruktivisme, dalam hal ini peserta didik dikondisikan agar mampu membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Jadi pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
- Inquiry, disini peserta didik belajar mencari (melalui pengamatan) dan menemukan sendiri hal-hal yang harus diketahui dari sebuah topik yang disodorkan kehadapan mereka. Disini peserta didik belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
- Questioning (Bertanya), dengan bertanya pengajar mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa terhadap topik/materi. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
- Learning community (masyarakat belajar), disini peserta didik berkumpul denganpeergroupnya untuk saling berbagi ide, curah pendapat, dan tukar pengalaman. Masyarakat belajar sangat membantu sekali untuk mengokohkan pemahaman mereka terhadap pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya.
- Modeling (pemodelan), tujuan adanya pemodelan adalah agar peserta didik mempunyai gambaran nyata tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Yang memberikan pemodelan ini biasanya adalah pengajarnya.
- Reflection (refleksi), pada tahap ini peserta didik diminta untuk mencatat setiap kejadian yang telah mereka lalui, memikirkannya, dan merefleksikannya. Semua hal itu digunakan peserta didik untuk mengevaluasi pembelajaran yang telah mereka laksanakan.
- Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya), yaitu penilaian yang dilakukan tidak terbatas secara kognitif (melalui paper and pen test) saja, tapi lebih holistic, yaitu penilaian proses dan produknya. Apakah sudah relevan dan kontekstual ?
Segala hal yang telah dijabarkan di atas bila disintesiskan akan menghasilkan karakteristik CTL, sebagai berikut :
- kerjasama
- saling menunjang
- menyenangkan, tidak membosankan
- belajar dengan bergairah
- pembelajaran terintegrasi
- menggunakan berbagai sumber
- siswa aktif
- sharing dengan teman
- siswa kritis guru kreatif
- dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
- laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain
Dari 2 (dua) model pembelajaran yang telah dijabarkan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk membelajarkan peserta didik dengan sesungguhnya belajar sangatlah sulit. Dibutuhkan pemikiran kritis, kreatif, dan mendalam untuk mewujudkannya
B. Evaluasi Pembelajaran
Tidak lazim dan sayang rasanya bila model pembelajaran yang diberikan sangat inovatif, tapi cara penilaiannya masih biasa-biasa saja. Karena tes tradisional cenderung hanya mengukur kemampuan kogitif peserta didik saja dan terkadang hasil tes tersebut tidak murni (bila peserta didik menyontek). Padahal, dalam pembelajaran inovatif peserta didik dituntut untuk lebih berproses secara aktif dalam pembelajaran.
Evaluasi pembelajaran merupakan usaha-usaha terarah, terencana, dan sistematis untuk meneliti proses pembelajaran. Objek evaluasinya antara lain tujuan pembelajaran, perencanaan dan pengelolaan pembelajaran, serta penyelenggaraan evaluasi hasil belajar.
Evaluasi dikatakan penting karena mempunyai tujuan utama sebagai berikut (Gronlund, 2003) :
- Feedback untuk peserta didik, dengan adanya evaluasi yang dilakukan secara berkala peserta didik menjadi tahu kelebihan dan keterbatasannya dalam memahami materi. Sebisa mungkin, feedback yang diberikan kepada peserta didik harus serinci mungkin, agar mereka dapat menilai apakah hasil yang mereka dapat memang karena kemampuan/pemahamannya atau hanya sekedar suatu kebetulan.
- Feedback untuk guru, fungsi evaluasi terpenting bagi pengajar adalah untuk menilai seberapa efektifkah pembelajaran yang telah ia laksanakan ? Apakah peserta didik mampu menyerapnya ?
- Informasi untuk orang tua, hasil dari tes yang telah dilaksanakan peserta didik menghasilkan skor yang dapat menggambarkan kemampuan mereka terhadap materi. Kumpulan-kumpulan angka tersebut dapat menginformasikan orang tua bagaimanakah kemampuan anaknya di sekolah.
- Informasi untuk seleksi, biasanya skor yang didapat dari setiap evaluasi adalah untuk membuat keputusan/seleksi apakah peserta didik tersebut perlu remedial materi sampai dengan keputusan apakah peserta didik perlu tinggal kelas atau tidak ?
- Informasi untuk akuntabilitas. Biasanya nilai/skor yang didapat siswa dapat digunakan pula untuk mengevaluasi guru, performansi sekolah oleh pihak-pihak terkait.
- Evaluasi sebagai insentif, maksudnya evaluasi dapat berfungsi sebagai hadiah atas segala usaha yang telah dilakukan oleh peserta didik.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa model pembelajaran yang inovatif harus dinilai secara inovatif pula. Penilaian tersebut biasa dikenal dengan asesmen. Alasan mengapa pengajar menggunakan asesmen, karena asesmen dapat :
- Mendiagnosis kelebihan dan kelemahan peserta didik
- Memonitor kemajuan belajar peserta didik
- Memberikan grade pada peserta didik
- Memberikan batasan bagi efektivitas pengajaran
- Mengevaluasi guru
- Meningkatkan kualitas pengajaran
Berhubung penilaian/asesmen banyak ragamnya, maka penjabarannya dibatasi hanya pada asesmen autentik dan asesmen portofolio.
1. Asesmen Autentik
Adalah asesmen hasil belajar yang menuntut peserta didiknya dapat menunjukkan hasil belajar berupa kemampuan dalam kehidupan nyata, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang hanya diperoleh di kelas, tetapi tidak dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, dalam hal ini peserta didik bukan memilih atau menjawab jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang sudah tersedia. Asesmen autentik sering disamakan dengan asesmen kinerja dan sebaliknya.
Asesmen kinerja setidak-tidaknya harus memiliki 3 (tiga) cirri utama, yaitu (Zainul, 2005) :
- Multi kriteria, kinerja peserta didik harus dinilai dengan penilaian lebih dari satu kriteria. Misalkan kemampuan peserta didik dalam berbahasa Inggris harus memiliki dasar penilaian dari aspek aksen, sintaksis, dan kosa kata.
- Standar kualitas yang spesifik (dalam artian tidak ambigu dan jelas), masing-masing kriteria kinerja peserta didik dapat dinilai secara jelas dan eksplisit dalam memajukan evaluasi kualitas kinerja peserta didik.
- Adanya judgement penilaian, asesmen kinerja membutuhkan penilaian yang bersifat manusiawi untuk menilai bagaimana kinerja siswa dapat diterima secara nyata (real).
Berikut contoh-contoh tugas yang termasuk dalam asesmen autentik :
- Computer adaptive testing (sepanjang tidak berbentuk objektif), yang menuntut peserta didik untuk mengekspresikan diri sehingga dapat menunjukkan tingkat kemampuan yang nyata
- Tes pilihan ganda yang diperluas
- Extended response atau open ended question (asal tidak hanya menuntut adanya satu jawaban “benar” yang terpola.
- Group performance assessment, yaitu tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik secara berkelompok
- Individual performance assessment, yaitu tugas yang harus diselesaikan secara mandiri
- Interview, yaitu siswa harus merespon pertanyaan lisan dari pengajar
- Nontraditional test items, yaitu butir soal yang tidak bersifat objektif tetapi merupakan suatu perangkat respon yang mengharuskan peserta didik memilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan
- Observasi, meminta peserta didik melakukan suatu tugas. Selama melaksanakan peserta didik tersebut peserta didik diobservasi baik secara terbuka maupun tertutup.
- Portofolio, suatu kumpulan hasil karya peserta didik yang disusun berdasarkan urutan waktu maupun urutan kategori kegiatan.
- Project, exhibition, or demonstration, yaitu penyelesaian tugas-tugas yang kompleks dalam suatu jangka waktu tertentu yang dapat memperlihatkan penguasaan kemampuan sampai pada tingkatan tertentu pula
- Short answer, open ended menuntut jawaban singkat dari siswa, tetapi bukan memilih jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang disediakan.
Asesmen autentik/kinerja memiliki dua bentuk utama yaitu tugas (task) dan skala penilaian (rubric). Tugas-tugas kinerja harus memperlihatkan kemampuan siswa menangani hal-hal yang kompleks melalui penerapan pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu dalam bentuk yang paling nyata. Sedangkan, rubric merupakan panduan untuk member skor yang jelas dan disepakati oleh peserta didik dan pengajar. Dengan bentuk asesmen autentik/kinerja ini diharapkan peserta didik dan pengajar ada upaya memperbaiki proses pembelajaran.
2. Asesmen Portofolio
Asesmen portofolio adalah asesmen yang terdiri dari kumpulan hasil karya peserta didik (bisa berasal dari asesmen autentik) yang disusun secara sistematik, sehingga menunjukkan dan membuktikan upaya, hasil, proses, dan kemajuan (progress) belajar yang dilakukan peserta didik dalam jangka waktu tertentu.
Portofolio bisa bertindak hanya sebagai koleksi/kumpulan hasil karya peserta didik, tetapi bisa juga bertindak sebagai asesmen. Hal yang harus diperhatikan, jika kita ingin menggunakan portofolio sebagai instrument asesmen adalah :
- Hendaknya memiliki kriteria penilaian yang jelas
- Informasi atau hasil karya yang didokumentasikan dapat berasal dari semua orang yang mengetahui peserta didik secara baik, seperti : guru, rekan sesama siswa, guru mata pelajaran lain, dan sebagainya
- Dapat terdiri dari berbagai bentuk informasi, seperti : karangan, hasil lukisan, skor tes, foto hasil karya, dll
- Kualitas portofolio harus senantiasa ditingkatkan dari waktu ke waktu berdasarkan hasil karya yang memenuhi kriteria
- Setiap mata pelajaran mungkin mempunyai bentuk portofolio yang sangat berbeda dengan mata pelajaran lainnya
- Harus terbuka bagi orang-orang yang secar langsung berkepentingan dengan hasil karya, seperti : guru, sekolah, orang tua siswa, dan siswa itu sendiri.
Setiap portofolio yang digunakan sebagai instrumen asesmen hasil belajar, secara langsung dapat dijadikan landasan pengembangan kegiatan pembelajaran berikutnya. Dengan demikian, portofolio dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan bagi pengajar maupun peserta didik.
Pada dasarnya asesmen portofolio memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu koleksi, seleksi, dan refleksi. Dalam implementasinya ketiga prinsip tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah yang harus dilalui dalam mengimplementasikan asesmen portofolio, yaitu :
1. Tahap persiapan
a) Mengidentifikasi atau menetapkan tujuan pembelajaran yang akan diases dengan asesmen portofolio
b) Menjelaskan kepada peserta didik bahwa akan dilaksanakan asesmen portofolio untuk mengases tujuan tertentu atau keseluruhan tujuan pembelajaran
c) Menjelaskan bagian mana dan seberapa banyak kinerja dan hasil karya yang secara minimal harus tercantum atau disertakan dalam portofolio, dalam bentuk apa, dan bagaimana kinerja atau hasil kerja itu akan diases
d) Menjelaskan bagaimana hasil karya tersebut harus disajikan
2. Tahap pelaksanaan
a) Guru mendorong dan memotivasi peserta didik
b) Guru melakukan pertemuan secara rutin dengan peserta didik guna mendiskusikan proses pembelajaran yang akan menghasilkan karya peserta didik, sehingga setiap langkah peserta didik dapat memperbaiki kelemahan yang mungkin terjadi
c) Memberikan umpan balik secara berkesinambungan kepada peserta didik
d) Memamerkan keseluruhan hasil karya yang disimpan dalam portofolio bersama-sama dengan karya keseluruhan peserta didik yang menjadi peserta mata pelajaran tersebut
3. Tahap penilaian
a) Menegakkan kriteria penilaian yang akan dilakukan bersama-sama atau partisipasi peserta didik
b) Kriteria yang disepakati diterapkan secara konsisten, baik oleh pengajar atau peserta didik
c) Arti terpenting dari tahap penilaian ini adalah self-assessment yang dilakukan oleh peserta didik, sehingga peserta didik menghayati dengan baik kekuatan dan kelemahannya
d) Hasil penilaian dijadikan tujuan baru bagi proses pembelajaran berikutnya.
C. Kesimpulan
Model pembelajaran dan evaluasi saling terkait satu sama lain. Model pembelajaran yang dilaksanakan akan semakin baik, bila dalam pengimplementasiannya selalu memperhatikan hasil evaluasi yang telah dilakukan. Jadi bisa dikatakan, evaluasi hadir salah satunya untuk menilai keberhasilan model pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Model pembelajaran yang baik adalah yang dapat mengakomodir dan mengaktifkan peserta didik (yang heterogen), baik dari segi fisik maupun intelektualitasnya. Begitu juga dengan cara penilaiannya, diharapkan menggunakan instrumen yang tidak hanya mengukur potensi kognitifnya saja.
D. Daftar Pustaka
Anonymous. Pengenalan pembelajaran secara kontekstual.http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/09kontekstual.pdf. Diakses pada 23 Februari 2008 pada 12.57.
__________. Pembelajaran secara kontekstual.http://219.94.96.174/sainsmath2002/pedagogi%20ubahsuai/Kontekstual.pdf . Diakses 23 Februari 2008 pada 1.18 pm.
__________. Kaidah pembelajaran kontekstual.http://www.tutor.com.my/lada/tourism/edu-kontekstual.htm. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.03 pm.
Dikdasmen. Pengembangan model pembelajaran yang efektif. http://www.dikdasmen.org/files/KTSP/SMP/PENGEMMODEL%20PEMBEL%20YG%20EFEKTIF-SMP.doc. Diakses 23 Februari 2008 pada 1.00 pm.
Effendi, Empy, “E-Learning : Pelatihan di era informasi”,http://www.freshmindsgroup.com/resources/index.php?option=com_content&task=view/&i
Lukmana, Lukas, ”Dukungan industri software dalam implementasi e-Learning di dunia pendidikan”,
http://www.wahanakom.com/infotek/elearning.htm, dikunjungi 10 Juli 2006.
Prawiradilaga, Dewi Salma. Prinsip Disain Pembelajaran : Instructional Design Principles. Jakarta : Kencana, 2007.
Siahaan, Sudirman, “E-Learning (pembelajaran elektronik) sebagai salah Satu Alternatif Kegiatan Pembelajaran”, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/42/sudirman.htm, dikunjungi 16 Februari 2006.
______, “Penelitian penjajagan tentang kemungkinan pemanfaatan internet untuk pembelajaran di SLTA di wilayah jakarta dan sekitarnya”,http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/39/Penelitian%20Penjajagan%20tentang.htm, dikunjungi 16 Februari 2006.
Tafiardi, “Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning”, Jurnal Pendidikan Penabur – No.04/ Th.IV/ Juli 2005,
http://www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/085-097.pdf, dikunjungi 10 Juli 2006
Zainul, Asmawi & Agus Mulyana. Tes dan Asesmen di SD. Jakarta : Universitas Terbuka, 2005.
Kamis, 16 Juni 2011
MODEL-MODEL PENGAJARAN INTERAKTIF YANG BERPUSAT PADA PEBELAJAR
Sahabat, di era informasi yang bertumbuh sangat cepat,, hampir mustahil bagi pembelajar untuk mengikuti seluruh perkembangan informasi. Sudah saatnya bahwa pembelajar bukan sebagai oknum yang mendominasi pembelajaran. Pebelajar sangat aktif dalam mencari informasi yang dibutuhkannya, sudah saatnya pebelajar yang difasilitasi untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Lalu pembelajar? Jadilah pendengar, fasilitator, dan scaffolding yang baik. Demikianlah beberapa teknik pembelajaran interaktif yang berpusat pada pebelajar.
Cooperative learning adalah model yang unik diantara model-model pengajaran yang lainnya karena menggunakan struktur tujuan, tugas, dan reward, yang berbeda untuk mendukung pembelajaran siswa.
Goal structure (Struktur tujuan) sebuah pelajaran mengacu pada banyaknya interdependensi yang dibutuhkan dari siswa ketika mereka melaksanakan-tugasnya. Tiga tipe struktur tujuan sudah teridentifikasi. Struktur tujuan bersifat individualistic bila pencapaian tujuan instruksional itu tidak membutuhkan interaksi dengan orang lain dan tidak berhubungan dengan seberapa baik prestasi orang lain. Struktur kompetitif terjadi bila siswa mempersepsi bahwa mereka dapat mencapai tujuannya hanya bila siswa-siswa lain gagal mencapainya. Struktur tujuan kooperatif terjadi bila siswa dapat mencapai tujuannya hanya bila siswa-siswa yang terkait dengannya dapat mencapai tujuannya.
Task structure (struktur tugas) cooperative learning mengharuskan siswa untuk mengerjakan bersama-sama berbagai tugas akdemis dalam kelompok-kelompok kecil. Struktur tujuan dan struktur reward-nya memberikan pengakuan kepada usaha kelompok maupun usaha individual. Pelajaran dengan cooperative learning ditandai oleh fitur-fitur berikut ini:
@ Siswa bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan belajar.
@ Tim-tim itu terdiri atas siswa-siswa yang berprestasi rendah, sedang, dan tinggi.
@ Bilamana mungkin, tim-tim itu terdiri atas campuran ras, budaya, dan gender.
@ System Reward-nya berorientasi kelompok maupun individu.
Model cooperative learning dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting: prestasi akdemis, toleransi dan penerimaan, dan pengembangan keterampilan sosial.
Meskipun cooperative learning mencakup beragam tujuan sosial, tetapi juga dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademis yang penting. Para pendukungnya percaya bahwa struktur reward cooperative model ini meningkatkan penghargaan siswa pada pembelajaran akademik dan mengubah norma-norma yang terkait dengan prestasi.
Selain mengubah norma-norma yang terkait dengan prestasi, cooperative learning dapat menguntungkan bagi siswa berprestasi rendah maupun tinggi yang mengerjakan tugas akademik bersama-sama. Mereka yang berprestasi tinggi mengajari teman-temannya yang berprestasi lebih rendah, sehingga memberikan bantuan khusus dari sesama teman yang memiliki minat dan bahasa berorientasi kaum muda yang sama. Dalam prosesnya, mereka yang berprestasi lebih tinggi juga memperoleh hasil secara akademik karena bertindak sebagai tutor menuntut untuk berpikir lebih mendalam tentang hubungan diantara berbagai ide dalam subjek tertentu.
Efek penting kedua dari cooperative learning adalah toleransi dan penerimaan yang lebih luas terhadap orang-orang yang berbeda ras, budaya, kelas sosial, atau kemampuannya. Cooperative learning memberikan kesempatan kepada siswa-siswa dengan latar belakang dan kondisi yang beragam untuk bekerja secara interdependen pada tugas yang sama dan, melalui penggunaan struktur reward kooperatif, belajar untuk saling menghargai.
Tujuan penting ketiga cooperative learning adalah mengajarkan keterampilan kerjasama dan kolaborasi kepada siswa. Cooperative learning meningkatkan kerjasama karena menghargai dan mendukung perkembangan intelegensi interpersonal.
Enam fase atau langkah utama yang terlibat dalam pelajaran menggunakan model cooperative learning adalah:
1. Pelajaran dimulai dengan guru membahas tujuan-tujuan pelajaran dan membangkitkan motivasi belajar siswa
2. Fase ini diikuti oleh presentasi informasi, seringkali dalam bentuk teks daripada ceramah
3. Siswa kemudian diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok belajar
4. Dalam langkah berikutnya, siswa dibantu oleh guru, bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas interdependen
5. Presentasi hasil akhir kelompok atau menguji segala yang sudah dipelajari siswa dan
6. Memberi pengakuan pada usaha kelompok maupun individu.
Lingkungan belajar cooperative learning membutuhkan struktur tugas dan struktur reward yang cooperative dan bukan kompetitif. Lingkungan belajarnya ditandai oleh proses-proses demokratis yang siswanya menjalankan peran aktif dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri.
a. Dukungan Teoritis dan Empiris
Model cooperative learning tidak berevolusi dari sebuah teori individual atau dari sebuah pendekatan tunggal tentang belajar. Ia berakar pada masa yunani awal, akar intelektual untuk cooperative learning berasal dari tradisi pendidikan yang menekankan pemikiran dan praktis demokratis: belajar secara aktif, perilaku kooperatif, dan menghormati pluralism di masyarakat yang multikultural.
Dasar empiris yang kuat mendukung penggunaan cooperative learning untuk tujuan-tujuan pendidikan berikut: perilaku kooperatif, pembelajaran akademis, hubungan rasial yang lebih baik, dan sikap yang lebih baik terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Konsep kelas demokratis, Dewey dan Thalen melihat perilaku kooperatif sebagai fondasi demokrasi dan melihat sekolah sebagai laboratorium untuk mengembangkan perilaku demokratis. Hubungan antar kelompok, kontak antar etnik yang terjadi dibawah kondisi yang setara dibutuhkan untuk mengurangi prasangka rasial dan etnik. Lingkungan kelas yang kooperatif dapat melahirkan pembelajaran yang lebih baik oleh dan pandangan yang lebih positif terhadap siswa-siswa dengan kondisi rasial dan etnik yang berbeda.
Experiential learning, perspektif teoritis ketiga yang memberikan dukungan intelektual bagi cooperative learning datang dari para teoritis dan peneliti yang tertarik dengan bagaimana individu belajar dari pengalaman. Pengalaman bertanggung jawab atas banyak hal yang dipelajari orang. Sebagai contoh, kebanyakan orang belajar naik sepeda dengan cara naik sepeda, dan mereka belajar menjadi adik atau kakak dengan cara menjadi adik atau kakak. Sebaliknya, meskipun setiap orang dapat membaca buku tentang perkawinan dan membesarkan anak, mereka yang sudah menikah dan membesarkan anak-anaklah yang tahu bahwa mengalami pengalaman menjadi orang tua tidak sama dengan yang didiskripskan di buku. Pengalaman memberikan kemampuan untuk mencerna hakikat kebenaran dari sebuah situasi.
b. Merencanakan dan Melaksanakan Cooperative Learning
Ø Merencanakan Cooperative Learning
Berikut ini adalah beberapa tugas dan keputusan unik yang dibutuhkan guru yang berencana mengajarkan pelajaran menggunakan cooperative learning:
1. Memilih Pendekatan
Meskipun prinsip-prinsip dasar cooperative learning tidak berubah, ada beberapa variasi untuk model ini. Empat model pendekatan tersebut adalah:
a) Student Teams Achievement Divisions (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan rekan-rekan sejawatnya di Jhon Hopkins University dan barangkali merupakan pendekatan cooperative learning yang paling sederhana dan mudah dipahami. Guru yang menggunakan STAD menyajikan informasi akademis baru kepada siswa setiap minggu atau secara regular, baik melalui presentasi verbal atau teks.
Siswa dikelas tertentu dibagi menjadi beberapa kelompok/tim belajar, dengan wakil-wakil dari kedua gender, dari berbagai kelompok rasial atau etnis, dan dengan prestasi rendah, rata-rata, dan tinggi. Anggota-anggota tim menggunakan worksheets atau alat belajar lain untuk menguasai berbagai materi akademis dan kemudian saling membantu untuk mempelajari berbagai materi melalui tutoring, saling memberikan kuis, atau melaksanakan diskusi tim. Secara individual siswa diberi kuis mingguan atau dua mingguan tentang berbagai materi akademis. Kuis-kuis ini diskor dan masing-masing individu diberi “skor kemajuan”. Skor kemajuan bukan didasarkan pada skor absolut siswa, tetapi pada seberapa banyak skor itu bertambah dari rata-rata skor sebelumnya.
b) Jigsaw
Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekan-rekan sejawatnya (Aronson dan Patnoe, 1997). Menggunakan Jigsaw, siswa-siswa ditempatkan ke dalam tim-tim belajar heterogen beranggotakan lima sampai enam orang. Berbagai materi akademis disajikan kepada siswa dalam bentuk teks, dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari satu porsi materinya.
Sebagai contoh, bila materi tekstualnya adalah tentang cooperative learning, seorang siswa di tim akan bertanggung jawab untuk mempelajari STAD, seorang untuk Jigsaw, seorang untuk Group Investigation (GI), dan satu atau dua orang lainnya akan menjadi ahli (expert)untuk dasar penelitian dan sejarah cooperative learning.
Para anggota dari tim-tim yang berbeda, tetapi membicarakan topik yang sama (kadang-kadang disebut expert group atau kelompok ahli) bertemu untuk belajar dan saling membantu dalam mepelajari topic tersebut. Setelah itu siswa kembali ke tim asalnya dan mengajarkan sesuatu yang telah mereka pelajari dalam expert group kepada anggota-anggota lain di timnya masing-masing. Setelah pertemuan dan diskusi tim asal, siswa mengerjakan kuis secara individual tentang berbagai materi belajar.
c) Group Investigation (GI)
Banyak fitur pendekatan grup investigation (GI) yang aslinya dirancang oleh Herberth Thelen. Yang lebih mutakhir, pendekatan ini diperluas dan disempurnakan oleh Sharan dan rekan-rekan sejawatnya di Tel Aviv University. GI barangkali merupakan pendekatan cooperative learning yang paling kompleks dan paling sulit diimplementasikan.
Kontras dengan STAD dan Jigsaw, pendekatan GI melibatkan siswa dalam merencanakan topik-topik yang akan dipelajari dan bagaimana cara menjalankan investigasinya. Hal ini membutuhkan norma dan struktur kelas yang lebih canggih disbanding pendekatan-pendekatan yang lebih teacher-centered (berpusat pada guru).
Guru yang menggunakan pendekatan GI biasanya membagi kelasnya menjadi kelompok-kelompok heterogen yang masing-masing beranggotakan lima atau enam orang. Akan tetapi, di beberapa kasus, kelompok mungkin dibentuk diseputar pertemanan atau diseputar minat terhadap topic tertentu. Siswa memiliki topic-topik untuk dipelajari, melakukan investigasi mendalam terhadap sub-sub topic yang dipilih, dan kemudian menyiapkan serta mempresentasikan laporan kepada seluruh kelas. Kemudian siswa dan guru mengevaluasi kontribusi masing-masing kelompok ke hasil pekerjaan kelas secara keseluruhan. Evaluas dapat memasukkan assesmen individual atau kelompok, atau kedua-duanya.
d) Pendekatan Struktural
Pendekatan cooperative learning ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992, 1998). Pendekatan structural menerangkan penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Ada dua bentuk pendekatan structural yaitu Think-Paire-Share dan Numbered-Heads-Together.
Pendekatan Think-Paire-Share menerapkan langkah-langkah (1) thinking, (2) pairing, dan (3) sharing. Sedangkan pendekatan Numbered-Heads-Together menggunakan langkah-langkah (1) numbering, (2) questioning, (3) heads together, (4) answering.
2. Memilih isi yang tepat
Seperti di pelajaran apapun, salah satu tugas perencanaan utama guru adalah memilih isi yang tepat bagi siswa dengan memperhatikan minat dan pembelajaran sebelumnya. Hal ini khusunya berlaku untuk pelajaran yang menggunakan model cooperative learning karena model itu menuntut cukup banyak self-direction dan inisiatif di pihak siswa. Tanpa isi yang menarik dan cukup menantang, sebuah pelajaran kooperatif dapat dengan mudah hancur berantakan.
3. Membentuk tim-tim siswa
Tugas perencanaan penting ketiga untuk cooperative adalah memutuskan bagaimana tim-tim belajar siswa akan dibentuk. Jelas, tugas ini akan bervariasi menurut tujuan yang dimiliki guru untuk pelajaran tertentu dan komposisi rasial dan etnis serta tingkat kemampuan siswa di kelas. Karena cooperative learning membutuhkan self-direction dan inisiatif, guru harus berhati-hati untuk memilih isi yang menarik bagi siswa.
4. Mengembangkan materi
Menyediakan materi-materi yang menarik dan sesuai dengan perkembangan siswa adalah suatu hal yang penting dilakukan bila tim-tim siswa akan bekerja secara mandiri.
5. Merencanakan untuk memberikan orientasi tentang berbagai tugas dan peran kepada siswa
Bila siswa belum memiliki pengalaman dengan cooperative learning, maka penting bagi guru untuk memberi mereka orientasi tentang struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya.
6. Merencanakan penggunaan waktu dan ruang
Pelajaran yang menggunakan model cooperative learning membutuhkan waku lebih banyak disbanding kebanyakan model pengajaran lainnya karena menyadarkan diri pada pengajaran kelompok kecil.
Ø Melaksanakan Cooperative Learning
Berikut ini adalah beberapa tugas dan keputusan unik yang dibutuhkan guru yang melaksanakan cooperative learning:
Tabel 1 Sintaksis Model Cooperative Learning:
Fase |
Perilaku Guru |
Fase 1: mengklarifikasikan tujuan dan establishing set | Guru menjelaskan tujuan-tujuan pelajaran dan establishing set |
Fase 2: mepresentasikan informasi | Guru mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal atau dengan teks |
Fase 3: mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar | Guru menjelaskan kepada siswa tata cara membentuk tim belajar dan mebentuk kelompok untuk melakukan transisi yang efisien |
Fase 4: membantu kerja-tim dan belajar | Guru membantu tim-tim belajar selama mereka melaksanakan tugasnya |
Fase 5: mengujikan berbagai materi | Guru menguji pengetahuan siswa tentang berbagai materi belajar atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil-hasil kerjanya |
Fase 6: memberikan pengakuan | Guru mencari cara untuk mengakui usaha dan prestasi individual maupun kelompok. |
c. Cooperative Learning: Sebuah Pemikiran
Cara mengimplementasikan lingkungan belajar yang kondusif untuk menggunakan Cooperative Learning. Yaitu, selama pembelajaran guru harus membantu siswa untuk melakukan transisi ke kelompok-kelompok kecil, membantu mereka mengelola kerja kelompok, dan mengajarkan berbagai keterampilan sosial dan kelompok yang penting.
Tugas assessment dan evaluasi, terutama evaluasi, mengganti pendekatan-pendekatan kompetitif tradisonal yang didiskripsikan untuk model-model sebelumnya dengan reward individual dan kelompok, bersama dengan bentuk-bentuk pengkuan baru.
Newsletter dan forum public adalah dua alat yang digunakan guru untuk memberikan pengakuan pada hasil kerja siswa yang dilaksanakan dalam pelajaran yang menggunakan Cooperative Learning.
2. PROBLEM BASED LEARNING
a. Dukungan Teoritis dan Empiris
Berbeda dengan model-model lain yang penekanannya adalah pada mempresentasikan ide-ide dan mendemonstrasikan keterampilan, dalam PBL (Problem Based Learning) guru menyodorkan situasi-situasi bermasalah kepada siswa dan memerintahkan mereka untuk menyelidiki dan menemukan sendiri solusinya.
PBL mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Dibawah ini PBL akan dibahas melalui tiga arrus utama pemikiran abad kedua puluh:
@ Dewey dan kelas berorientasi masalah
Seperti halnya cooperative learning, PBL menemukan akar intelektualnya dalam hasil karya John Dewey. Dewey mendiskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboraturium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Pandangan Dewey bahwa sekolah seharusnya menjadi laboratorium untuk pengatasan masalah kehidupan nyata menjadi penyokong filosofis untuk PBL.
@ Piaget, Vygotsky, dan Konstruktivisme
Dewey memberikan dasar filosofis untuk PBL pada abad kedua puluh, tetapi psikologilah yang banyak memberikan dukungan teoritisnya. Para psikolog eropa, Jean Piaget dan Lev Vygotsky, mempunyai peran instrumental dalam mengembangkan konsep konstruktivisme yang banyak menjadi sandaran PBL kontemporer.
Persepktif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan PBL, banyak meminjam pendapat Piaget (1954, 1963). Prespektif ini mengatakan, seperti juga yang dikatakan oleh Piaget, bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berubah dan berevolusi secara konstan selama pelajar mengkonstrukskan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.
Keyakinan Vygotsky berbeda dengan keyakinan Piaget dalam beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks sosial atau kulturalnya, Vygotsky menekankan pada pentingnya aspek sosial belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain memacu pengkonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pelajar.
@ Bruner dan Discovery Learning
Tahun 1950-an dan 1960-an menyaksikan terjadinya reformasi kurikulum yang signifikan di Amerika Serikat yang dimulai dibidang matematika dan sains, tetapi kemudian meluas ke bidang sejarah, humanitas, dan ilmu sosial. Para pereformasi berusaha mengubah kurikulum pendidikan dasar dan menegah dari focus yang nyaris total pada transmisi isi akademis yang sudah mapan ke problem solving dan inquiry. Pedagogi kurikulum baru itu termasuk pengajaran berbasis kegiatan yang siswanya diharapkan untuk menggunakan pengalaman langsung dan pengamatannya sendiri untuk mendapatkan informasi dan menyelesaikan berbagai masalah ilmiah.
Jerome Bruner, seorang psikologi Harvard, adalah salah satu pemuka dalam revormasi kurikulum pada zaman ini. Ia dan rekan-rekan sejawatnya memberikan dukungan teoritis penting terhadap discovery learning, sebuah model pengajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery. Tujuan pendidikan bukan hanya untuk memperbesar dasar pengetahuan siswa, tetapi juga untuk menciptakan berbagai kemungkinan untuk invention (penciptaan) dan discovery (penemuan).
PBL kontemporer juga menyadarkan diri pada konsep lain yang berasal dari Bruner, yakni idenya tentang scaffolding. Bruner mendiskripsikan scaffolding sebagai sebuah proses dari pelajar yang dibantu untuk mengatasi masalah tertentu yang berada di luar kapasitas perkembangannya dengan bantuan (scaffolding) guru atau orang lain yang lebih mampu. Perhatikan betapa miripnya scaffolding Bruner dengan konsep Vygotsky tentang zone of proximal development.
b. Tujuan Instruksional PBL
PBL tidak dirancang untuk membantu guru menyampaikan informasi dengan jumlah besar kepada siswa. PBL dirancang untuk:
1) Membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan intelektualnya.
2) Mempelajari peran-peran orang dewasa dan mengalaminya melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan.
3) Menjadi pelajar yang mandiri dan otonom.
Problem Based Learning |
Keterampilan untuk belajar secara mandiri |
Perilaku dan keterampilan sosial sesuai peran orang dewasa |
Keterampilan penyelidikan dan keterampilan mengatasi masalah |
Gambar 2 Tujuan Instruksional PBL
c. Merencanakan dan Melaksanakan Problem Based Learning
@ Merencanakan PBL
PBL, seperti pendekatan pengajaran interaktif lain yang berpusat pada siswa, membutuhkan upaya perencanaan yang sama banyaknya atau bahkan lebih. Langkah-langkah perencanaan tersebut meliputi:
1) Memutuskan sasaran dan tujuan
2) Merancang situasi bermasalah yang tepat
3) Mengorganisasikan sumberdaya dan merencakan logistik
@ Melaksanakan PBL
Tabel 2 Sintaksis untuk PBL
FASE |
PERILAKU GURU |
Fase 1: memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa | Guru membahas tujuan pelajaran, mendiskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah |
Fase 2: mengorganisasikan siswa untuk meneliti | Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya. |
Fase 3: membantu investigasi mandiri dan kelompok | Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan serta solusi. |
Fase 4: mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit | Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model, dan membantu mereka untuk menyampaikannya pada orang lain. |
Fase 5: menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah | Guru membantu siswa untuk melaksanakan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan. |
A. Assesmen dan Evaluasi
Sebagian besar pedoman umum assesmen dan evaluasi yang diberikan di bab-bab sebelumnya juga berlaku untuk pengajaran berbasis masalah. Prosedur-prosedur assesment harus selalu disesuaikan dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai, dan selalu penting bagi guru untuk mendapatkan informasi assesmen yang reliable dan valid.
Seperti halnya cooperative learning yang maksud instruksionalnya bukan untuk memperoleh pengetahuan deklaratif, tugas asesmen untuk PBL tidak mungkin hanya berupa tes-tes kertas dan pensil semata. Prosedur asesment dan evaluasi performance paling tepat untuk digunakan pada pengajaran berbasis masalah. Hasil kerja yang diciptakan oleh siswa sagat cocok untuk diasses dengan asesmen performance yang menggunakan rubrik scoring atau checklist dan rating scales. Lebih jauh, asesmen performace dapat digunakan untuk mengukur potensi siswa untuk mengatasi masalah maupun untuk mengukur kerja kelompok.
3. DISKUSI KELAS
Diskusi kelas adalah sebuah prosedur atau strategi mengajar yang dapat digunakan sebagai satu-satunya strategi pengajaran yang diterapkan di sejumlah model pengajaran. Agar tercipta diskusi kelas yang efektif, siswa dibutuhkan untuk memahami tentang beberapa topik penting yang terkait dengan diskusi kelas. Diskusi dapat dideskripsikan sebagai prosedur yang digunakan untuk mendorong pertukaran verbal diantara siswa. Para pakar dan peneliti lebih sering menyebut diskusi sebagai discourse. Menurut kamus Oxford, discourse dapat diartikan sebagai ceramah atau paparan. Discourse merefleksikan ketertarikan para peneliti pada pola-pola yang lebih besar dalam pertukaran informasi dan komunikasi. Discourse dapat memberikan perspektif secara keseluruhan tentang komunikasi kelas, sedangkan diskusi digunakan bila yang dideskripsikan adalah prosedur pengajaran tertentu.
|
Hasil yang pertama dalam adalah pemahaman konseptual. Siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan membantu mereka untuk mengkonstruksikan pemahamannya sendiri tentang isi akademik. Hasil yang kedua yaitu meningkatkan keterlibatan dan engagement siswa. Siswa dituntut untuk bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada guru. Diskusi memberikan kesempatan pada siswa untuk berbicara dan memainkan ide-idenya sendiri didepan umum dan memberikan motifasi untuk terlibat di dalam percakapan di luar kelas. Hasil ketiga adalah siswa dapat mempelajari ketrampilan komunikasi dan proses berpikir yang penting, seperti menyatakan ide dengan jelas, mendengarkan orang lain, merespon orang lain dengan cara yang baik, dan mengajukan pertanyaan yang baik.
a. Merencanakan dan Melaksanakan Diskusi Kelas
Merencanakan sebuah diskusi membutuhkan usaha yang sama banyaknya dibandingkan tipe-tipe pelajaran lainnya, dan untuk merencanakannya guru harus memperhitungkan beberapa pertimbangan, antara lain: memutuskan bahwa diskusi yang dimaksud sesuai dengan pelajaran tertentu dan tipe seperti apa yang dipilih untuk melaksanakan diskusi. Selain faktor diatas guru harus juga mempertimbangkan ketrampilan komunikasi dan diskusi siswa. Hal ini sangat penting untuk merancang strategi dalam mendorong partisipasi sebanyak mungkin siswa.
Ada beberapa jenis diskusi dan pendekatan yang dipilih untuk merefleksikan maksud guru, antara lain: 1) Resitasi, 2) Penyelidikan atau diskusi berbasis masalah, dan 3) Sharing based discussion.
Persiapan dan identifikasi pola-pola bertanya yang dilakukan sebelumnya dapat meningkatkan kelancaran diskusi kelas. Beberapa jenis pertanyaan menurut taksonomi Bloom yang telah direfisi dapat digunakan sebagai acuan untuk memulai sebuah diskusi kelas. Jenis-jenis pertanyaan itu antara lain: 1) Mengingat, 2) Memahami, 3) Menerapkan, 4) Menganalisis, 5) Mengevaluasi, 6) Menciptakan. Jenis pertanyaan mengingat dan memahami mengaruskan siswa untuk mengingat informasi (fakta, kejadian, prinsip) yang sudah mereka pelajari sehingga mereka dapat menjelaskan artinya. Pertanyaan menerapkan dan menganalisis menuntut siswa untuk memfokuskan tentang “mengapa” suatu fenomena terjadi, dan menerapkan jenis pengetahuan tertentu. Empat tipe pertanyaan diatas dapat disebut sebagai pertanyaan konvergen, karena meminta siswa untuk fokus pada jawaban atau kesimpulan tunggal yang terbaik dan menjelaskan hubungan yang diketahuinya. Sedangkan pertanyaan divergen adalah mungkinnya timbul lebih dari satu jawaban, kesimpulan, dan kreativitas siswa. Contoh tipe pertanyaan divergen adalah mengevaluasi dan menciptakan.
Dalam pelaksanaannya diskusi dibentuk dengan berbagai pola yang bergantung pada tujuan guru pada pembelajaran tertentu dan sifat-sifat siswanya. Namun pada dasarnya setiap pola itu memiliki lima fase diskusi, antara lain: 1) Menjelaskan maksud pelajaran dan establishing set, 2) Memfokuskan diskusi, 3) Mengendalikan diskusi, 4) Menutup dikusi, dan 5) Memberikan debriefing.
Tabel 3 Sintaksis untuk Menyelenggarakan Diskusi
Fase | Perilaku Guru |
Fase 1: Mengklarifikasikan maksud dan establishing set | Guru membahas maksud diskusi dan mempersiapkan siswa untuk berpartisipasi |
Fase 2: Memfokuskan diskusi | Guru menberikan fokus diskusi dengan mendeskripsikan peraturan dasarnya, mengajukan pertanyaan awal, menyodorkan situasi yang menbingungkan, atau mendeskripsikan sebuah isu diskusi |
Fase 3: Mengendalikan diskusi | Guru menantau interaksi siswa, melontarkan pertanyaan, mendengarkan ide-ide, merespons ide-ide, menegakkan peraturan dasarnya, mencatat proses diskusi, dan mengekspresikan ide-idenya sendiri |
Fase 4: Mengakhiri diskusi | Guru menbantu mengakhiri diskusi dengan merangkum atau mengekspresikan makna diskusi bagi dirinya |
Fase 5: Debriefing | Guru memerintahkan siswa untuk menelaah diskusinya dan memikirkan proses-prosesnya |
Sumber: Arends. 2008: 87
b. Mengelola Lingkungan Belajar
Dibagian ini disiskripsikan beberapa ketrampilan dan strategi untuk memperluas partisipasi, meningkatkan sikap saling menghormati antar pribadi, dan untuk mempertinggi pemikiran di kelas. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk memperluas partisipasi siswa adalah dengan mengurangi kecepatan diskusi. Contoh strategi ini antara lain: think-pair-share, buzz group, dan beach ball.
Ketrampilan lain yang dikembangkan dalam diskusi adalah mengingkatkan sikap saling menghormati dan saling memahami. Berikut ini adalah empat ketrampilan komunikasi yang dideskripsikan oleh Schmuck dan Schmuck (2001) yang dapat digunakan orang untuk membuat proses pengiriman dan penerimaan pesan lebih efektif. Dua ketrampilan akan membantu ekspresi pengirim dan dua yang lain membantu si penerima pesan. Ketrampilan komunikasi itu, adalah: 1) Parafrasa, 2) Mendeskripsikan perilaku, 3) Mendeskripsikan perasaan, dan 4) Memeriksa pesan.
Tugas penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan diskusi kelas adalah berupa penemuan cara untuk menindaklanjuti diskusi dan penilaian pada kontribusi siswa dalam diskusi.
4. MENGHUBUNGAN BEBERAPA MODEL DAN MENDIFERENSIASIKAN PENGAJARAN
Guru-guru masa kini diharapkan untuk mengadaptasikan pengajarannya untuk dapat memenuhi kebutuhan semua siswa, oleh sebab itu guru diharapkan memiliki berbagai strategi untuk membantu siswa belajar. Diferensiasi adalah praktik mengadaptasikan pengajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa-siswa tertentu. Jika guru menggunakan multiple models berarti bahwa guru memilih beberapa model dari repertoar mengajarnya dan menggunakan berbagai macam pendekatan yang berbeda tergantung tujuan belajarnya. Repertoar mengajar terdiri atas sejumlah model dan taktik yang dimiliki guru yang mereka kuasai penggunaannya sehingga dapat digunakan untuk memastikan bahwa setiap siswa akan belajar.
Dasar pemikiran untuk menghubungkan berbagai model dan mendiferensiasikan pengajaran ini berasal dari pemahaman tentang pengajaran efektif dan perbedaan individual dalam hal kemampuan, intelegensi, dan perkembangan kognitif. Bila guru menguasai penggunaan beragam model dan strategi, maka guru akan dapat membuat pilihan yang bijak tentang model mana yang akan digunakan dan kapan model itu akan digunakan. Mengajar dengan model presentasi efektif untuk membantu siswa memperoleh dan memproses pengetahuan deklaratif. Model pembelajaran langsung dimaksudkan untuk membantu siswa untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan penting dan pengetahuan prosedural, sementara pencapaian konsep (concept attainment) mendukung perkembangan konseptual dan pemikirna tingkat tinggi. Model-model pengajaran yang berpusat pada siswa, seperti cooperative lerarning, problem based learning, dan diskusi kelas akan lebih efektif untuk meningkatkan ketrampilan siswa untuk mengatasi masalah dan berpikir tingkat tinggi dan ketrampilan sosialnya. Selain itu, siswa akan terbentuk untuk bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri. Pemilihan pendekatan di atas harus mempertimbangkan sasaran, tujuan pembelajaran tertentu, konteks dan sifat siswa. Variasi atau keragaman dalam pendekatan pengajaran membuat siswa dan guru tetap tertarik untuk terlibat dalam pembelajaran. Kendala yang ditemui dalam pemilihan model tersebut antara lain: beragamnya latar belakang, minat, gaya belajar, dan kemampuan siswa.
a. Dasar Pemikiran Untuk Diferensiasi
Masyarakat berharap agar setiap anak berhasil di sekolah dan memenuhi potensinya. Inilah tantangan sulit bagi guru karena model persekolahan yang diterapkan mengharuskan guru untuk merencanakan dan mengajar siswanya di kelas-kelas yang dikelompokan berdasarkan umur yang ditandai oleh keragaman. Situasi ini menuntut guru untuk mumpuni dalam mendiferensiasikan pengajaran. Mereka harus memfokuskan pada standart dan tujuan standart esensial, tetapi juga harus memodifikasi kurikulum untuk menyesuaikan dengan berbagai model dan strategi pembelajaran yang dibutuhkan siswa.
Menurut Piaget, individu berkembang melalui empat tahap perkembangan kognitif, yaitu: ketrampilan sensoris, motoris kasar, berpikir kongkret, dan operasi-operasi formal.
Rangka kerja penting lainnya disampaikan oleh Vygotsky yang memahami perbedaan perkembangan kognitif. Vygotsky mengusulkan tentang konsep Zone of Proximal Development yang didefinisikan sebagai perbedaan antara perkembangan aktual anak dan apa yang dapat dilakukannya secara mandiri. Vygotsky percaya bahwa perkembangan belajar terjadi melalui interaksi dengan orang sebaya maupun orang dewasa, oleh sebab itu salah satu tugas guru adalah memberikan tantangan dan bantuan yang tepat untuk membawa siswa maju ke Zone of Proximal Development mereka. Perkembangan kognitif dan mental bukan merupakan sebuah kapasitas atau kemampuan tunggal yang tidak di diferensiasikan. Menurut Sternberg, tiga tipe intelegensi yaitu: analitis, praktis, dan kreatif sedangkan menurut multiple intellegences yang disampaikan oleh Gardner, ada delapan bentuk dasar intelegensi yaitu: logis-matematis, linguistik, musikal, spasial, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis yang dapat digunakan untuk membantu mengadaptasikan pengajaran.
b. Merencanakan Diferensiasi
Guru menggunakan proses perencanaan unutk merespon kebutuhan setiap siswa dan untuk memastikan kesuksesan semua siswa. Untuk memenuhi tantangan ini guru harus menemukan cara untuk mendiferensiasikan pengajarannya agar setiap siswa dapat belajar sebanyak mungkin. Salah seorang pencetus diferensiasi adalah Carol Ann Tomlinson.
Elemen-elemen penting diferensiasi menurut Tomlinson (1999), antara lain: 1) Guru memfokuskan pada hal-hal yang esensial, 2) Memperhatikan perbedaan-perbedaan siswa, 3) Mengintegrasikan antara pengajaran dan assessment, 4) Berusaha menemukan cara bagi seluruh siswa untuk berpartisipasi dalam pekerjaan yang terhormat, 5) Bersama siswa berkolaborasi dalam pembelajaran, 6) Menyeimbangkan norma-norma kelompok dan individual, dan 7) Memodifikasi isi, proses, dan produk.
Isi (konten) dalam model Tomlinson terdiri atas kemampuan dan ketrampilan-ketrampilan esensial yang diinginkan oleh guru untuk dipelajari siswa. Proses mendeskripsikan strategi dan kegiatan yang digunakan untuk menuntaskan pembelajaran, sedangkan produk adalah assessment yang dihasilkan siswa untuk mendemonstrasikan hasil pembelajarannya. Kesiapan siswa untuk belajar terdiri atas tingkat pemahaman tentang isi tertentu dan atau kesiapannya untuk berpartisipasi dalam jenis-jenis kegiatan tertentu. Interest atau minat timbul dari rasa ingin tahu atau hasrat yang begitu besar pada topik tertentu dan profil pelajar mengacu pada multiple intelegences dan gaya belajar mereka.
c. Strategi-Strategi Instruksional Untuk Mendiferensiasikan Pengajaran
Penerapan teori multiple intelligences Gardner berpotensi untuk membantu mendiferensiasikan pengajaran untuk rentang siswa yang lebih luas dan pada gilirannya akan membantu mengembangkan rentang kemampuan yang lebih luas. Hal ini akan membantu guru untuk mempersonalisasikan pendidikan dengan mengenali berbagai macam manusia yang ada. Setiap subjek tidak dapat didekati dari prespektif seluruh inteligensi (Gardner, 1998 dalam Woolfolk, 1998).
Strategi-strategi instruksional untuk mendiferensiasikan pengajaran, antara lain: 1) Diferensiasi kurikulum – memfokuskan pada hal-hal esensial dengan memadatkan kurikulum bagi sebagian siswa dan memperluas kurikulum bagi siswa lainnya, 2) Cooperatif learning – membentuk kelompok-kelompok siswa heterogen dan menyediakan tugas terdiferensiasi di berbagai kelompok, 3) Problem Based Learning – siswa berperan aktif menginvestigasi situasi yang membingungkan dan masalah-masalah yang jawabannya tidak jelas, 4) Memadatkan kurikulum dan pengajaran – bila siswa memiliki pemahaman yang baik tentang pengetahuan dan ketrampilan terkait, guru hanya mereview isi pelajaran itu dengan cepat kemudian memberikan kesempatan kepada sebagian siswa untuk melanjutkan ke ide, konsep, dan ketrampilan yang lebih tinggi dan lebih kompleks, 5) Tiered Activities – kegiatan dibuat bertingkat-tingkat agar seluruh siswa dapat memfokuskan pada pemahaman dan ketrampilan yang esensial namun dengan kompleksitas berbeda, 6) Independence Study and Learning Contract – adalah strategi yang menantang siswa cerdas dikelas-kelas yang terdiferensiasi.
d. Penggunaan Pengelompokan yang Fleksibel di Kelas yang Terdiferensiasi
Salah satu praktik utama untuk mendiferensiasikan pengajaran adalah penggunaan flexible grouping. Flexible grouping atau Within Class Grouping adalah praktik menempatkan siswa di kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk subjek-subjek tertentu tetapi tetap berada didalam kelas yang sama.
Agar flexible grouping berhasil guru harus memperhatikan beberapa masalah instruksional dan assessment sebagai berikut:
1. Diagnosis akurat terhadap performa dan pengetahuan sebelumnya.
2. Diferensiasi kurikulum dan pengajaran.
3. Identifikasi dengan komunitas belajar kelas reguler.
4. Mempertahankan sifat kelompok kecil yang temporer dan fleksibel.
5. Assessment berkelanjutan.
6. Pekerjaan yang bermakna dan terhormat bagi siswa di semua kelompok.
e. Management dan Assessment dikelas yang Terdiferensiasi
Penting bagi guru untuk memiliki sejumlah aturan dan rutinitas dalam upaya menjaga agar pelajaran berjalan lancar tanpa disrupsi dan untuk menangani perilaku buruk dengan cepat dan tegas. Beberapa managemen khusus untuk guru yang mendiferensiasikan pengajaran dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengelola lingkungan multi tugas.
2. Menetapkan rutinitas untuk memulai pekerjaan dan melakukan transisi.
3. Menyesuaikan dengan tingkat penyelesaian yang berbeda.
4. Memantau pekerjaan siswa dan mengelola sumber daya.
Assessment dirancangan untuk memberikan informasi diagnostik penting bagi guru tentang kesiapan siswa. Dalam kelas yang didiferensiasikan siswa diberi pekerjaan dan kegiatan belajar yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya. Prosedur grading dan rapor tradisional sering kali tidak konsisten dengan diferensiasi pengajaran. Grading dan rapor perlu diubah untuk merefleksikan assessment dan laporan pertumbuhan individual. Tomlinson (2001), menganjurkan untuk menetapkan ulang arti huruf nilai di rapor, bahkan juga mengusulkan penambahan sebuah notasi angka. Maksud pendekatan ini adalah untuk mengevaluasi pertumbuhan tetapi juga mengkomunikasikan informasi kepada orang tua tentang kedudukan anaknya dibandingkan norma tingkat kelasnya secara keseluruhan. Yang terpenting, praktik assessment dan grading harus memperhatikan perbedaan-perbedaan siswa dan menekankan pertumbuhan individual masing-masing siswa.