Kamis, 16 Juni 2011

MODEL-MODEL PENGAJARAN INTERAKTIF YANG BERPUSAT PADA PEBELAJAR

learningcenter

Sahabat, di era informasi yang bertumbuh sangat cepat,, hampir mustahil bagi pembelajar untuk mengikuti seluruh perkembangan informasi. Sudah saatnya bahwa pembelajar bukan sebagai oknum yang mendominasi pembelajaran. Pebelajar sangat aktif dalam mencari informasi yang dibutuhkannya, sudah saatnya pebelajar yang difasilitasi untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Lalu pembelajar? Jadilah pendengar, fasilitator, dan scaffolding yang baik. Demikianlah beberapa teknik pembelajaran interaktif yang berpusat pada pebelajar.

1. Cooperative Learning

Cooperative learning adalah model yang unik diantara model-model pengajaran yang lainnya karena menggunakan struktur tujuan, tugas, dan reward, yang berbeda untuk mendukung pembelajaran siswa.

Goal structure (Struktur tujuan) sebuah pelajaran mengacu pada banyaknya interdependensi yang dibutuhkan dari siswa ketika mereka melaksanakan-tugasnya. Tiga tipe struktur tujuan sudah teridentifikasi. Struktur tujuan bersifat individualistic bila pencapaian tujuan instruksional itu tidak membutuhkan interaksi dengan orang lain dan tidak berhubungan dengan seberapa baik prestasi orang lain. Struktur kompetitif terjadi bila siswa mempersepsi bahwa mereka dapat mencapai tujuannya hanya bila siswa-siswa lain gagal mencapainya. Struktur tujuan kooperatif terjadi bila siswa dapat mencapai tujuannya hanya bila siswa-siswa yang terkait dengannya dapat mencapai tujuannya.

Task structure (struktur tugas) cooperative learning mengharuskan siswa untuk mengerjakan bersama-sama berbagai tugas akdemis dalam kelompok-kelompok kecil. Struktur tujuan dan struktur reward-nya memberikan pengakuan kepada usaha kelompok maupun usaha individual. Pelajaran dengan cooperative learning ditandai oleh fitur-fitur berikut ini:

@ Siswa bekerja dalam tim untuk mencapai tujuan belajar.

@ Tim-tim itu terdiri atas siswa-siswa yang berprestasi rendah, sedang, dan tinggi.

@ Bilamana mungkin, tim-tim itu terdiri atas campuran ras, budaya, dan gender.

@ System Reward-nya berorientasi kelompok maupun individu.

Model cooperative learning dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting: prestasi akdemis, toleransi dan penerimaan, dan pengembangan keterampilan sosial.

Meskipun cooperative learning mencakup beragam tujuan sosial, tetapi juga dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademis yang penting. Para pendukungnya percaya bahwa struktur reward cooperative model ini meningkatkan penghargaan siswa pada pembelajaran akademik dan mengubah norma-norma yang terkait dengan prestasi.

Selain mengubah norma-norma yang terkait dengan prestasi, cooperative learning dapat menguntungkan bagi siswa berprestasi rendah maupun tinggi yang mengerjakan tugas akademik bersama-sama. Mereka yang berprestasi tinggi mengajari teman-temannya yang berprestasi lebih rendah, sehingga memberikan bantuan khusus dari sesama teman yang memiliki minat dan bahasa berorientasi kaum muda yang sama. Dalam prosesnya, mereka yang berprestasi lebih tinggi juga memperoleh hasil secara akademik karena bertindak sebagai tutor menuntut untuk berpikir lebih mendalam tentang hubungan diantara berbagai ide dalam subjek tertentu.

Efek penting kedua dari cooperative learning adalah toleransi dan penerimaan yang lebih luas terhadap orang-orang yang berbeda ras, budaya, kelas sosial, atau kemampuannya. Cooperative learning memberikan kesempatan kepada siswa-siswa dengan latar belakang dan kondisi yang beragam untuk bekerja secara interdependen pada tugas yang sama dan, melalui penggunaan struktur reward kooperatif, belajar untuk saling menghargai.

Tujuan penting ketiga cooperative learning adalah mengajarkan keterampilan kerjasama dan kolaborasi kepada siswa. Cooperative learning meningkatkan kerjasama karena menghargai dan mendukung perkembangan intelegensi interpersonal.

Enam fase atau langkah utama yang terlibat dalam pelajaran menggunakan model cooperative learning adalah:

1. Pelajaran dimulai dengan guru membahas tujuan-tujuan pelajaran dan membangkitkan motivasi belajar siswa

2. Fase ini diikuti oleh presentasi informasi, seringkali dalam bentuk teks daripada ceramah

3. Siswa kemudian diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok belajar

4. Dalam langkah berikutnya, siswa dibantu oleh guru, bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas interdependen

5. Presentasi hasil akhir kelompok atau menguji segala yang sudah dipelajari siswa dan

6. Memberi pengakuan pada usaha kelompok maupun individu.

Lingkungan belajar cooperative learning membutuhkan struktur tugas dan struktur reward yang cooperative dan bukan kompetitif. Lingkungan belajarnya ditandai oleh proses-proses demokratis yang siswanya menjalankan peran aktif dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri.

a. Dukungan Teoritis dan Empiris

Model cooperative learning tidak berevolusi dari sebuah teori individual atau dari sebuah pendekatan tunggal tentang belajar. Ia berakar pada masa yunani awal, akar intelektual untuk cooperative learning berasal dari tradisi pendidikan yang menekankan pemikiran dan praktis demokratis: belajar secara aktif, perilaku kooperatif, dan menghormati pluralism di masyarakat yang multikultural.

Dasar empiris yang kuat mendukung penggunaan cooperative learning untuk tujuan-tujuan pendidikan berikut: perilaku kooperatif, pembelajaran akademis, hubungan rasial yang lebih baik, dan sikap yang lebih baik terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Konsep kelas demokratis, Dewey dan Thalen melihat perilaku kooperatif sebagai fondasi demokrasi dan melihat sekolah sebagai laboratorium untuk mengembangkan perilaku demokratis. Hubungan antar kelompok, kontak antar etnik yang terjadi dibawah kondisi yang setara dibutuhkan untuk mengurangi prasangka rasial dan etnik. Lingkungan kelas yang kooperatif dapat melahirkan pembelajaran yang lebih baik oleh dan pandangan yang lebih positif terhadap siswa-siswa dengan kondisi rasial dan etnik yang berbeda.

Experiential learning, perspektif teoritis ketiga yang memberikan dukungan intelektual bagi cooperative learning datang dari para teoritis dan peneliti yang tertarik dengan bagaimana individu belajar dari pengalaman. Pengalaman bertanggung jawab atas banyak hal yang dipelajari orang. Sebagai contoh, kebanyakan orang belajar naik sepeda dengan cara naik sepeda, dan mereka belajar menjadi adik atau kakak dengan cara menjadi adik atau kakak. Sebaliknya, meskipun setiap orang dapat membaca buku tentang perkawinan dan membesarkan anak, mereka yang sudah menikah dan membesarkan anak-anaklah yang tahu bahwa mengalami pengalaman menjadi orang tua tidak sama dengan yang didiskripskan di buku. Pengalaman memberikan kemampuan untuk mencerna hakikat kebenaran dari sebuah situasi.

b. Merencanakan dan Melaksanakan Cooperative Learning

Ø Merencanakan Cooperative Learning

Berikut ini adalah beberapa tugas dan keputusan unik yang dibutuhkan guru yang berencana mengajarkan pelajaran menggunakan cooperative learning:

1. Memilih Pendekatan

Meskipun prinsip-prinsip dasar cooperative learning tidak berubah, ada beberapa variasi untuk model ini. Empat model pendekatan tersebut adalah:

a) Student Teams Achievement Divisions (STAD)

STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan rekan-rekan sejawatnya di Jhon Hopkins University dan barangkali merupakan pendekatan cooperative learning yang paling sederhana dan mudah dipahami. Guru yang menggunakan STAD menyajikan informasi akademis baru kepada siswa setiap minggu atau secara regular, baik melalui presentasi verbal atau teks.

Siswa dikelas tertentu dibagi menjadi beberapa kelompok/tim belajar, dengan wakil-wakil dari kedua gender, dari berbagai kelompok rasial atau etnis, dan dengan prestasi rendah, rata-rata, dan tinggi. Anggota-anggota tim menggunakan worksheets atau alat belajar lain untuk menguasai berbagai materi akademis dan kemudian saling membantu untuk mempelajari berbagai materi melalui tutoring, saling memberikan kuis, atau melaksanakan diskusi tim. Secara individual siswa diberi kuis mingguan atau dua mingguan tentang berbagai materi akademis. Kuis-kuis ini diskor dan masing-masing individu diberi “skor kemajuan”. Skor kemajuan bukan didasarkan pada skor absolut siswa, tetapi pada seberapa banyak skor itu bertambah dari rata-rata skor sebelumnya.

b) Jigsaw

Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekan-rekan sejawatnya (Aronson dan Patnoe, 1997). Menggunakan Jigsaw, siswa-siswa ditempatkan ke dalam tim-tim belajar heterogen beranggotakan lima sampai enam orang. Berbagai materi akademis disajikan kepada siswa dalam bentuk teks, dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari satu porsi materinya.

Sebagai contoh, bila materi tekstualnya adalah tentang cooperative learning, seorang siswa di tim akan bertanggung jawab untuk mempelajari STAD, seorang untuk Jigsaw, seorang untuk Group Investigation (GI), dan satu atau dua orang lainnya akan menjadi ahli (expert)untuk dasar penelitian dan sejarah cooperative learning.

Para anggota dari tim-tim yang berbeda, tetapi membicarakan topik yang sama (kadang-kadang disebut expert group atau kelompok ahli) bertemu untuk belajar dan saling membantu dalam mepelajari topic tersebut. Setelah itu siswa kembali ke tim asalnya dan mengajarkan sesuatu yang telah mereka pelajari dalam expert group kepada anggota-anggota lain di timnya masing-masing. Setelah pertemuan dan diskusi tim asal, siswa mengerjakan kuis secara individual tentang berbagai materi belajar.

c) Group Investigation (GI)

Banyak fitur pendekatan grup investigation (GI) yang aslinya dirancang oleh Herberth Thelen. Yang lebih mutakhir, pendekatan ini diperluas dan disempurnakan oleh Sharan dan rekan-rekan sejawatnya di Tel Aviv University. GI barangkali merupakan pendekatan cooperative learning yang paling kompleks dan paling sulit diimplementasikan.

Kontras dengan STAD dan Jigsaw, pendekatan GI melibatkan siswa dalam merencanakan topik-topik yang akan dipelajari dan bagaimana cara menjalankan investigasinya. Hal ini membutuhkan norma dan struktur kelas yang lebih canggih disbanding pendekatan-pendekatan yang lebih teacher-centered (berpusat pada guru).

Guru yang menggunakan pendekatan GI biasanya membagi kelasnya menjadi kelompok-kelompok heterogen yang masing-masing beranggotakan lima atau enam orang. Akan tetapi, di beberapa kasus, kelompok mungkin dibentuk diseputar pertemanan atau diseputar minat terhadap topic tertentu. Siswa memiliki topic-topik untuk dipelajari, melakukan investigasi mendalam terhadap sub-sub topic yang dipilih, dan kemudian menyiapkan serta mempresentasikan laporan kepada seluruh kelas. Kemudian siswa dan guru mengevaluasi kontribusi masing-masing kelompok ke hasil pekerjaan kelas secara keseluruhan. Evaluas dapat memasukkan assesmen individual atau kelompok, atau kedua-duanya.

d) Pendekatan Struktural

Pendekatan cooperative learning ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992, 1998). Pendekatan structural menerangkan penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Ada dua bentuk pendekatan structural yaitu Think-Paire-Share dan Numbered-Heads-Together.

Pendekatan Think-Paire-Share menerapkan langkah-langkah (1) thinking, (2) pairing, dan (3) sharing. Sedangkan pendekatan Numbered-Heads-Together menggunakan langkah-langkah (1) numbering, (2) questioning, (3) heads together, (4) answering.

2. Memilih isi yang tepat

Seperti di pelajaran apapun, salah satu tugas perencanaan utama guru adalah memilih isi yang tepat bagi siswa dengan memperhatikan minat dan pembelajaran sebelumnya. Hal ini khusunya berlaku untuk pelajaran yang menggunakan model cooperative learning karena model itu menuntut cukup banyak self-direction dan inisiatif di pihak siswa. Tanpa isi yang menarik dan cukup menantang, sebuah pelajaran kooperatif dapat dengan mudah hancur berantakan.

3. Membentuk tim-tim siswa

Tugas perencanaan penting ketiga untuk cooperative adalah memutuskan bagaimana tim-tim belajar siswa akan dibentuk. Jelas, tugas ini akan bervariasi menurut tujuan yang dimiliki guru untuk pelajaran tertentu dan komposisi rasial dan etnis serta tingkat kemampuan siswa di kelas. Karena cooperative learning membutuhkan self-direction dan inisiatif, guru harus berhati-hati untuk memilih isi yang menarik bagi siswa.

4. Mengembangkan materi

Menyediakan materi-materi yang menarik dan sesuai dengan perkembangan siswa adalah suatu hal yang penting dilakukan bila tim-tim siswa akan bekerja secara mandiri.

5. Merencanakan untuk memberikan orientasi tentang berbagai tugas dan peran kepada siswa

Bila siswa belum memiliki pengalaman dengan cooperative learning, maka penting bagi guru untuk memberi mereka orientasi tentang struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya.

6. Merencanakan penggunaan waktu dan ruang

Pelajaran yang menggunakan model cooperative learning membutuhkan waku lebih banyak disbanding kebanyakan model pengajaran lainnya karena menyadarkan diri pada pengajaran kelompok kecil.

Ø Melaksanakan Cooperative Learning

Berikut ini adalah beberapa tugas dan keputusan unik yang dibutuhkan guru yang melaksanakan cooperative learning:

Tabel 1 Sintaksis Model Cooperative Learning:

Fase

Perilaku Guru

Fase 1: mengklarifikasikan tujuan dan establishing set

Guru menjelaskan tujuan-tujuan pelajaran dan establishing set

Fase 2: mepresentasikan informasi

Guru mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal atau dengan teks

Fase 3: mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar

Guru menjelaskan kepada siswa tata cara membentuk tim belajar dan mebentuk kelompok untuk melakukan transisi yang efisien

Fase 4: membantu kerja-tim dan belajar

Guru membantu tim-tim belajar selama mereka melaksanakan tugasnya

Fase 5: mengujikan berbagai materi

Guru menguji pengetahuan siswa tentang berbagai materi belajar atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil-hasil kerjanya

Fase 6: memberikan pengakuan

Guru mencari cara untuk mengakui usaha dan prestasi individual maupun kelompok.

c. Cooperative Learning: Sebuah Pemikiran

Cara mengimplementasikan lingkungan belajar yang kondusif untuk menggunakan Cooperative Learning. Yaitu, selama pembelajaran guru harus membantu siswa untuk melakukan transisi ke kelompok-kelompok kecil, membantu mereka mengelola kerja kelompok, dan mengajarkan berbagai keterampilan sosial dan kelompok yang penting.

Tugas assessment dan evaluasi, terutama evaluasi, mengganti pendekatan-pendekatan kompetitif tradisonal yang didiskripsikan untuk model-model sebelumnya dengan reward individual dan kelompok, bersama dengan bentuk-bentuk pengkuan baru.

Newsletter dan forum public adalah dua alat yang digunakan guru untuk memberikan pengakuan pada hasil kerja siswa yang dilaksanakan dalam pelajaran yang menggunakan Cooperative Learning.

2. PROBLEM BASED LEARNING

a. Dukungan Teoritis dan Empiris

Berbeda dengan model-model lain yang penekanannya adalah pada mempresentasikan ide-ide dan mendemonstrasikan keterampilan, dalam PBL (Problem Based Learning) guru menyodorkan situasi-situasi bermasalah kepada siswa dan memerintahkan mereka untuk menyelidiki dan menemukan sendiri solusinya.

PBL mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Dibawah ini PBL akan dibahas melalui tiga arrus utama pemikiran abad kedua puluh:

@ Dewey dan kelas berorientasi masalah

Seperti halnya cooperative learning, PBL menemukan akar intelektualnya dalam hasil karya John Dewey. Dewey mendiskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboraturium untuk penyelidikan dan pengatasan masalah kehidupan nyata. Pandangan Dewey bahwa sekolah seharusnya menjadi laboratorium untuk pengatasan masalah kehidupan nyata menjadi penyokong filosofis untuk PBL.

@ Piaget, Vygotsky, dan Konstruktivisme

Dewey memberikan dasar filosofis untuk PBL pada abad kedua puluh, tetapi psikologilah yang banyak memberikan dukungan teoritisnya. Para psikolog eropa, Jean Piaget dan Lev Vygotsky, mempunyai peran instrumental dalam mengembangkan konsep konstruktivisme yang banyak menjadi sandaran PBL kontemporer.

Persepktif kognitif-konstruktivis, yang menjadi landasan PBL, banyak meminjam pendapat Piaget (1954, 1963). Prespektif ini mengatakan, seperti juga yang dikatakan oleh Piaget, bahwa pelajar dengan umur berapapun terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi berubah dan berevolusi secara konstan selama pelajar mengkonstrukskan pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka untuk mendasarkan diri pada dan memodifikasi pengetahuan sebelumnya.

Keyakinan Vygotsky berbeda dengan keyakinan Piaget dalam beberapa hal penting. Bila Piaget memfokuskan pada tahap-tahap perkembangan intelektual yang dilalui anak terlepas dari konteks sosial atau kulturalnya, Vygotsky menekankan pada pentingnya aspek sosial belajar. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain memacu pengkonstruksian ide-ide baru dan meningkatkan perkembangan intelektual pelajar.

@ Bruner dan Discovery Learning

Tahun 1950-an dan 1960-an menyaksikan terjadinya reformasi kurikulum yang signifikan di Amerika Serikat yang dimulai dibidang matematika dan sains, tetapi kemudian meluas ke bidang sejarah, humanitas, dan ilmu sosial. Para pereformasi berusaha mengubah kurikulum pendidikan dasar dan menegah dari focus yang nyaris total pada transmisi isi akademis yang sudah mapan ke problem solving dan inquiry. Pedagogi kurikulum baru itu termasuk pengajaran berbasis kegiatan yang siswanya diharapkan untuk menggunakan pengalaman langsung dan pengamatannya sendiri untuk mendapatkan informasi dan menyelesaikan berbagai masalah ilmiah.

Jerome Bruner, seorang psikologi Harvard, adalah salah satu pemuka dalam revormasi kurikulum pada zaman ini. Ia dan rekan-rekan sejawatnya memberikan dukungan teoritis penting terhadap discovery learning, sebuah model pengajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery. Tujuan pendidikan bukan hanya untuk memperbesar dasar pengetahuan siswa, tetapi juga untuk menciptakan berbagai kemungkinan untuk invention (penciptaan) dan discovery (penemuan).

PBL kontemporer juga menyadarkan diri pada konsep lain yang berasal dari Bruner, yakni idenya tentang scaffolding. Bruner mendiskripsikan scaffolding sebagai sebuah proses dari pelajar yang dibantu untuk mengatasi masalah tertentu yang berada di luar kapasitas perkembangannya dengan bantuan (scaffolding) guru atau orang lain yang lebih mampu. Perhatikan betapa miripnya scaffolding Bruner dengan konsep Vygotsky tentang zone of proximal development.

b. Tujuan Instruksional PBL

PBL tidak dirancang untuk membantu guru menyampaikan informasi dengan jumlah besar kepada siswa. PBL dirancang untuk:

1) Membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan intelektualnya.

2) Mempelajari peran-peran orang dewasa dan mengalaminya melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan.

3) Menjadi pelajar yang mandiri dan otonom.

Problem Based Learning

Keterampilan untuk belajar secara mandiri

Perilaku dan keterampilan sosial sesuai peran orang dewasa

Keterampilan penyelidikan dan keterampilan mengatasi masalah

Gambar 2 Tujuan Instruksional PBL

c. Merencanakan dan Melaksanakan Problem Based Learning

@ Merencanakan PBL

PBL, seperti pendekatan pengajaran interaktif lain yang berpusat pada siswa, membutuhkan upaya perencanaan yang sama banyaknya atau bahkan lebih. Langkah-langkah perencanaan tersebut meliputi:

1) Memutuskan sasaran dan tujuan

2) Merancang situasi bermasalah yang tepat

3) Mengorganisasikan sumberdaya dan merencakan logistik

@ Melaksanakan PBL

Tabel 2 Sintaksis untuk PBL

FASE

PERILAKU GURU

Fase 1: memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa

Guru membahas tujuan pelajaran, mendiskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah

Fase 2: mengorganisasikan siswa untuk meneliti

Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.

Fase 3: membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan serta solusi.

Fase 4: mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model, dan membantu mereka untuk menyampaikannya pada orang lain.

Fase 5: menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

Guru membantu siswa untuk melaksanakan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.

A. Assesmen dan Evaluasi

Sebagian besar pedoman umum assesmen dan evaluasi yang diberikan di bab-bab sebelumnya juga berlaku untuk pengajaran berbasis masalah. Prosedur-prosedur assesment harus selalu disesuaikan dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai, dan selalu penting bagi guru untuk mendapatkan informasi assesmen yang reliable dan valid.

Seperti halnya cooperative learning yang maksud instruksionalnya bukan untuk memperoleh pengetahuan deklaratif, tugas asesmen untuk PBL tidak mungkin hanya berupa tes-tes kertas dan pensil semata. Prosedur asesment dan evaluasi performance paling tepat untuk digunakan pada pengajaran berbasis masalah. Hasil kerja yang diciptakan oleh siswa sagat cocok untuk diasses dengan asesmen performance yang menggunakan rubrik scoring atau checklist dan rating scales. Lebih jauh, asesmen performace dapat digunakan untuk mengukur potensi siswa untuk mengatasi masalah maupun untuk mengukur kerja kelompok.

 

3. DISKUSI KELAS

Diskusi kelas adalah sebuah prosedur atau strategi mengajar yang dapat digunakan sebagai satu-satunya strategi pengajaran yang diterapkan di sejumlah model pengajaran. Agar tercipta diskusi kelas yang efektif, siswa dibutuhkan untuk memahami tentang beberapa topik penting yang terkait dengan diskusi kelas. Diskusi dapat dideskripsikan sebagai prosedur yang digunakan untuk mendorong pertukaran verbal diantara siswa. Para pakar dan peneliti lebih sering menyebut diskusi sebagai discourse. Menurut kamus Oxford, discourse dapat diartikan sebagai ceramah atau paparan. Discourse merefleksikan ketertarikan para peneliti pada pola-pola yang lebih besar dalam pertukaran informasi dan komunikasi. Discourse dapat memberikan perspektif secara keseluruhan tentang komunikasi kelas, sedangkan diskusi digunakan bila yang dideskripsikan adalah prosedur pengajaran tertentu.

 

Diskusi digunakan oleh guru untuk mencapai setidaknya tiga tujuan instruksional penting, yaitu:  pemahaman konsep, keterlibatan, dan keterampilan komunikasi dalam prosesnya.

Hasil yang pertama dalam adalah pemahaman konseptual. Siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan membantu mereka untuk mengkonstruksikan pemahamannya sendiri tentang isi akademik. Hasil yang kedua yaitu meningkatkan keterlibatan dan engagement siswa. Siswa dituntut untuk bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri sehingga tidak sepenuhnya bergantung pada guru. Diskusi memberikan kesempatan pada siswa untuk berbicara dan memainkan ide-idenya sendiri didepan umum dan memberikan motifasi untuk terlibat di dalam percakapan di luar kelas. Hasil ketiga adalah siswa dapat mempelajari ketrampilan komunikasi dan proses berpikir yang penting, seperti menyatakan ide dengan jelas, mendengarkan orang lain, merespon orang lain dengan cara yang baik, dan mengajukan pertanyaan yang baik.

a. Merencanakan dan Melaksanakan Diskusi Kelas

Merencanakan sebuah diskusi membutuhkan usaha yang sama banyaknya dibandingkan tipe-tipe pelajaran lainnya, dan untuk merencanakannya guru harus memperhitungkan beberapa pertimbangan, antara lain: memutuskan bahwa diskusi yang dimaksud sesuai dengan pelajaran tertentu dan tipe seperti apa yang dipilih untuk melaksanakan diskusi. Selain faktor diatas guru harus juga mempertimbangkan ketrampilan komunikasi dan diskusi siswa. Hal ini sangat penting untuk merancang strategi dalam mendorong partisipasi sebanyak mungkin siswa.

Ada beberapa jenis diskusi dan pendekatan yang dipilih untuk merefleksikan maksud guru, antara lain: 1) Resitasi, 2) Penyelidikan atau diskusi berbasis masalah, dan 3) Sharing based discussion.

Persiapan dan identifikasi pola-pola bertanya yang dilakukan sebelumnya dapat meningkatkan kelancaran diskusi kelas. Beberapa jenis pertanyaan menurut taksonomi Bloom yang telah direfisi dapat digunakan sebagai acuan untuk memulai sebuah diskusi kelas. Jenis-jenis pertanyaan itu antara lain: 1) Mengingat, 2) Memahami, 3) Menerapkan, 4) Menganalisis, 5) Mengevaluasi, 6) Menciptakan. Jenis pertanyaan mengingat dan memahami mengaruskan siswa untuk mengingat informasi (fakta, kejadian, prinsip) yang sudah mereka pelajari sehingga mereka dapat menjelaskan artinya. Pertanyaan menerapkan dan menganalisis menuntut siswa untuk memfokuskan tentang “mengapa” suatu fenomena terjadi, dan menerapkan jenis pengetahuan tertentu. Empat tipe pertanyaan diatas dapat disebut sebagai pertanyaan konvergen, karena meminta siswa untuk fokus pada jawaban atau kesimpulan tunggal yang terbaik dan menjelaskan hubungan yang diketahuinya. Sedangkan pertanyaan divergen adalah mungkinnya timbul lebih dari satu jawaban, kesimpulan, dan kreativitas siswa. Contoh tipe pertanyaan divergen adalah mengevaluasi dan menciptakan.

Dalam pelaksanaannya diskusi dibentuk dengan berbagai pola yang bergantung pada tujuan guru pada pembelajaran tertentu dan sifat-sifat siswanya. Namun pada dasarnya setiap pola itu memiliki lima fase diskusi, antara lain: 1) Menjelaskan maksud pelajaran dan establishing set, 2) Memfokuskan diskusi, 3) Mengendalikan diskusi, 4) Menutup dikusi, dan 5) Memberikan debriefing.

Tabel 3 Sintaksis untuk Menyelenggarakan Diskusi

Fase

Perilaku Guru

Fase 1: Mengklarifikasikan maksud dan establishing set

Guru membahas maksud diskusi dan mempersiapkan siswa untuk berpartisipasi

Fase 2: Memfokuskan diskusi

Guru menberikan fokus diskusi dengan mendeskripsikan peraturan dasarnya, mengajukan pertanyaan awal, menyodorkan situasi yang menbingungkan, atau mendeskripsikan sebuah isu diskusi

Fase 3: Mengendalikan diskusi

Guru menantau interaksi siswa, melontarkan pertanyaan, mendengarkan ide-ide, merespons ide-ide, menegakkan peraturan dasarnya, mencatat proses diskusi, dan mengekspresikan ide-idenya sendiri

Fase 4: Mengakhiri diskusi

Guru menbantu mengakhiri diskusi dengan merangkum atau mengekspresikan makna diskusi bagi dirinya

Fase 5: Debriefing

Guru memerintahkan siswa untuk menelaah diskusinya dan memikirkan proses-prosesnya

Sumber: Arends. 2008: 87

b. Mengelola Lingkungan Belajar

Dibagian ini disiskripsikan beberapa ketrampilan dan strategi untuk memperluas partisipasi, meningkatkan sikap saling menghormati antar pribadi, dan untuk mempertinggi pemikiran di kelas. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk memperluas partisipasi siswa adalah dengan mengurangi kecepatan diskusi. Contoh strategi ini antara lain: think-pair-share, buzz group, dan beach ball.

Ketrampilan lain yang dikembangkan dalam diskusi adalah mengingkatkan sikap saling menghormati dan saling memahami. Berikut ini adalah empat ketrampilan komunikasi yang dideskripsikan oleh Schmuck dan Schmuck (2001) yang dapat digunakan orang untuk membuat proses pengiriman dan penerimaan pesan lebih efektif. Dua ketrampilan akan membantu ekspresi pengirim dan dua yang lain membantu si penerima pesan. Ketrampilan komunikasi itu, adalah: 1) Parafrasa, 2) Mendeskripsikan perilaku, 3) Mendeskripsikan perasaan, dan 4) Memeriksa pesan.

Tugas penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan diskusi kelas adalah berupa penemuan cara untuk menindaklanjuti diskusi dan penilaian pada kontribusi siswa dalam diskusi.

4. MENGHUBUNGAN BEBERAPA MODEL DAN MENDIFERENSIASIKAN PENGAJARAN

Guru-guru masa kini diharapkan untuk mengadaptasikan pengajarannya untuk dapat memenuhi kebutuhan semua siswa, oleh sebab itu guru diharapkan memiliki berbagai strategi untuk membantu siswa belajar. Diferensiasi adalah praktik mengadaptasikan pengajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa-siswa tertentu. Jika guru menggunakan multiple models berarti bahwa guru memilih beberapa model dari repertoar mengajarnya dan menggunakan berbagai macam pendekatan yang berbeda tergantung tujuan belajarnya. Repertoar mengajar terdiri atas sejumlah model dan taktik yang dimiliki guru yang mereka kuasai penggunaannya sehingga dapat digunakan untuk memastikan bahwa setiap siswa akan belajar.

Dasar pemikiran untuk menghubungkan berbagai model dan mendiferensiasikan pengajaran ini berasal dari pemahaman tentang pengajaran efektif dan perbedaan individual dalam hal kemampuan, intelegensi, dan perkembangan kognitif. Bila guru menguasai penggunaan beragam model dan strategi, maka guru akan dapat membuat pilihan yang bijak tentang model mana yang akan digunakan dan kapan model itu akan digunakan. Mengajar dengan model presentasi efektif untuk membantu siswa memperoleh dan memproses pengetahuan deklaratif. Model pembelajaran langsung dimaksudkan untuk membantu siswa untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan penting dan pengetahuan prosedural, sementara pencapaian konsep (concept attainment) mendukung perkembangan konseptual dan pemikirna tingkat tinggi. Model-model pengajaran yang berpusat pada siswa, seperti cooperative lerarning, problem based learning, dan diskusi kelas akan lebih efektif untuk meningkatkan ketrampilan siswa untuk mengatasi masalah dan berpikir tingkat tinggi dan ketrampilan sosialnya. Selain itu, siswa akan terbentuk untuk bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri. Pemilihan pendekatan di atas harus mempertimbangkan sasaran, tujuan pembelajaran tertentu, konteks dan sifat siswa. Variasi atau keragaman dalam pendekatan pengajaran membuat siswa dan guru tetap tertarik untuk terlibat dalam pembelajaran. Kendala yang ditemui dalam pemilihan model tersebut antara lain: beragamnya latar belakang, minat, gaya belajar, dan kemampuan siswa.

a. Dasar Pemikiran Untuk Diferensiasi

Masyarakat berharap agar setiap anak berhasil di sekolah dan memenuhi potensinya. Inilah tantangan sulit bagi guru karena model persekolahan yang diterapkan mengharuskan guru untuk merencanakan dan mengajar siswanya di kelas-kelas yang dikelompokan berdasarkan umur yang ditandai oleh keragaman. Situasi ini menuntut guru untuk mumpuni dalam mendiferensiasikan pengajaran. Mereka harus memfokuskan pada standart dan tujuan standart esensial, tetapi juga harus memodifikasi kurikulum untuk menyesuaikan dengan berbagai model dan strategi pembelajaran yang dibutuhkan siswa.

Menurut Piaget, individu berkembang melalui empat tahap perkembangan kognitif, yaitu: ketrampilan sensoris, motoris kasar, berpikir kongkret, dan operasi-operasi formal.

Rangka kerja penting lainnya disampaikan oleh Vygotsky yang memahami perbedaan perkembangan kognitif. Vygotsky mengusulkan tentang konsep Zone of Proximal Development yang didefinisikan sebagai perbedaan antara perkembangan aktual anak dan apa yang dapat dilakukannya secara mandiri. Vygotsky percaya bahwa perkembangan belajar terjadi melalui interaksi dengan orang sebaya maupun orang dewasa, oleh sebab itu salah satu tugas guru adalah memberikan tantangan dan bantuan yang tepat untuk membawa siswa maju ke Zone of Proximal Development mereka. Perkembangan kognitif dan mental bukan merupakan sebuah kapasitas atau kemampuan tunggal yang tidak di diferensiasikan. Menurut Sternberg, tiga tipe intelegensi yaitu: analitis, praktis, dan kreatif sedangkan menurut multiple intellegences yang disampaikan oleh Gardner, ada delapan bentuk dasar intelegensi yaitu: logis-matematis, linguistik, musikal, spasial, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis yang dapat digunakan untuk membantu mengadaptasikan pengajaran.

b. Merencanakan Diferensiasi

Guru menggunakan proses perencanaan unutk merespon kebutuhan setiap siswa dan untuk memastikan kesuksesan semua siswa. Untuk memenuhi tantangan ini guru harus menemukan cara untuk mendiferensiasikan pengajarannya agar setiap siswa dapat belajar sebanyak mungkin. Salah seorang pencetus diferensiasi adalah Carol Ann Tomlinson.

Elemen-elemen penting diferensiasi menurut Tomlinson (1999), antara lain: 1) Guru memfokuskan pada hal-hal yang esensial, 2) Memperhatikan perbedaan-perbedaan siswa, 3) Mengintegrasikan antara pengajaran dan assessment, 4) Berusaha menemukan cara bagi seluruh siswa untuk berpartisipasi dalam pekerjaan yang terhormat, 5) Bersama siswa berkolaborasi dalam pembelajaran, 6) Menyeimbangkan norma-norma kelompok dan individual, dan 7) Memodifikasi isi, proses, dan produk.

Isi (konten) dalam model Tomlinson terdiri atas kemampuan dan ketrampilan-ketrampilan esensial yang diinginkan oleh guru untuk dipelajari siswa. Proses mendeskripsikan strategi dan kegiatan yang digunakan untuk menuntaskan pembelajaran, sedangkan produk adalah assessment yang dihasilkan siswa untuk mendemonstrasikan hasil pembelajarannya. Kesiapan siswa untuk belajar terdiri atas tingkat pemahaman tentang isi tertentu dan atau kesiapannya untuk berpartisipasi dalam jenis-jenis kegiatan tertentu. Interest atau minat timbul dari rasa ingin tahu atau hasrat yang begitu besar pada topik tertentu dan profil pelajar mengacu pada multiple intelegences dan gaya belajar mereka.

c. Strategi-Strategi Instruksional Untuk Mendiferensiasikan Pengajaran

Penerapan teori multiple intelligences Gardner berpotensi untuk membantu mendiferensiasikan pengajaran untuk rentang siswa yang lebih luas dan pada gilirannya akan membantu mengembangkan rentang kemampuan yang lebih luas. Hal ini akan membantu guru untuk mempersonalisasikan pendidikan dengan mengenali berbagai macam manusia yang ada. Setiap subjek tidak dapat didekati dari prespektif seluruh inteligensi (Gardner, 1998 dalam Woolfolk, 1998).

Strategi-strategi instruksional untuk mendiferensiasikan pengajaran, antara lain: 1) Diferensiasi kurikulum – memfokuskan pada hal-hal esensial dengan memadatkan kurikulum bagi sebagian siswa dan memperluas kurikulum bagi siswa lainnya, 2) Cooperatif learning – membentuk kelompok-kelompok siswa heterogen dan menyediakan tugas terdiferensiasi di berbagai kelompok, 3) Problem Based Learning – siswa berperan aktif menginvestigasi situasi yang membingungkan dan masalah-masalah yang jawabannya tidak jelas, 4) Memadatkan kurikulum dan pengajaran – bila siswa memiliki pemahaman yang baik tentang pengetahuan dan ketrampilan terkait, guru hanya mereview isi pelajaran itu dengan cepat kemudian memberikan kesempatan kepada sebagian siswa untuk melanjutkan ke ide, konsep, dan ketrampilan yang lebih tinggi dan lebih kompleks, 5) Tiered Activities – kegiatan dibuat bertingkat-tingkat agar seluruh siswa dapat memfokuskan pada pemahaman dan ketrampilan yang esensial namun dengan kompleksitas berbeda, 6) Independence Study and Learning Contract – adalah strategi yang menantang siswa cerdas dikelas-kelas yang terdiferensiasi.

d. Penggunaan Pengelompokan yang Fleksibel di Kelas yang Terdiferensiasi

Salah satu praktik utama untuk mendiferensiasikan pengajaran adalah penggunaan flexible grouping. Flexible grouping atau Within Class Grouping adalah praktik menempatkan siswa di kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk subjek-subjek tertentu tetapi tetap berada didalam kelas yang sama.

Agar flexible grouping berhasil guru harus memperhatikan beberapa masalah instruksional dan assessment sebagai berikut:

1. Diagnosis akurat terhadap performa dan pengetahuan sebelumnya.

2. Diferensiasi kurikulum dan pengajaran.

3. Identifikasi dengan komunitas belajar kelas reguler.

4. Mempertahankan sifat kelompok kecil yang temporer dan fleksibel.

5. Assessment berkelanjutan.

6. Pekerjaan yang bermakna dan terhormat bagi siswa di semua kelompok.

e. Management dan Assessment dikelas yang Terdiferensiasi

Penting bagi guru untuk memiliki sejumlah aturan dan rutinitas dalam upaya menjaga agar pelajaran berjalan lancar tanpa disrupsi dan untuk menangani perilaku buruk dengan cepat dan tegas. Beberapa managemen khusus untuk guru yang mendiferensiasikan pengajaran dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Mengelola lingkungan multi tugas.

2. Menetapkan rutinitas untuk memulai pekerjaan dan melakukan transisi.

3. Menyesuaikan dengan tingkat penyelesaian yang berbeda.

4. Memantau pekerjaan siswa dan mengelola sumber daya.

Assessment dirancangan untuk memberikan informasi diagnostik penting bagi guru tentang kesiapan siswa. Dalam kelas yang didiferensiasikan siswa diberi pekerjaan dan kegiatan belajar yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya. Prosedur grading dan rapor tradisional sering kali tidak konsisten dengan diferensiasi pengajaran. Grading dan rapor perlu diubah untuk merefleksikan assessment dan laporan pertumbuhan individual. Tomlinson (2001), menganjurkan untuk menetapkan ulang arti huruf nilai di rapor, bahkan juga mengusulkan penambahan sebuah notasi angka. Maksud pendekatan ini adalah untuk mengevaluasi pertumbuhan tetapi juga mengkomunikasikan informasi kepada orang tua tentang kedudukan anaknya dibandingkan norma tingkat kelasnya secara keseluruhan. Yang terpenting, praktik assessment dan grading harus memperhatikan perbedaan-perbedaan siswa dan menekankan pertumbuhan individual masing-masing siswa.

1 komentar:

  1. Di update lagi pak informasi nya....biar lebih banyak mengenai metode2x dalam pengajaran.
    thanks

    BalasHapus